Rabu, 10 Oktober 2007

Pancasila Berubah Menjadi Pancasial !

Pancasila Berubah

Menjadi Pancasial

Dalam sejarah Pancasila, sejak 1 Juni 1945 sampai sekarang mengalami perubahan rumusan sesuai dengan perkembangan, baik secara logika maupun demi kekuasaan. Pada paruh tahun 50-an sampai 60-an, sosialisasi tentang Pancasila dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemasangan pagar bambu di tepi jalan.

Untuk penggambaran Pancasila, dipasanglah belahan bambu yang memanjang sebanyak lima buah (gapit, Jawa). Pada tahun 80-an, Orde Baru menggalakkan pembudayaan P4 melalui penataran sebagai pelaksanaan Tap II/MPR/1978. Kini Tap tersebut entah ke mana, padahal baru berusia 28 tahun.

Secara logika, kalau Tap II/MPR/1978 bisa hilang dari peredaran, apalagi Tap XXXIII/MPRS/1967 yang cenderung lebih tua, mestinya akan hilang dengan sendirinya. Pada era Orde Baru sampai sekarang Pancasila tidak lebih dari sekadar bacaan pada kegiatan upacara dan makna yang terkandung di dalamnya terabaikan.

Saya khawatir Pancasila akan berubah menjadi Pancasial yaitu:

1. Ke-tua-an yang kuasa;

2. Kemanusiaan yang kerdil dan biadab;

3. Perseteruan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebejatan dalam kemaksiatan;

5. Ketidakadilan bagi seluruh rakyat kecil Indonesia.

Pada Langendrian Damarwulan, ada pupuh Dhandhanggula sbb:

Siwa patih marma sun timbali,

Ingsun paring weruh marang sira

Yen ingsun antuk wangsite

Saka dewa linuhung

Saranane paprangan iki

Kang bisa mbengkas karya

Bocah saka gunung

Kekasih Damarsasangka

Siwa patih iku upayanen nuli

Jwa kongsi kepanggya.

Pupuh tersebut menggambarkan pemimpin yang memperhatikan rakyat kecil dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu butir budaya Jawa mengatakan: Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. Pada masa sekarang, adakah pemimpin semacam itu?

Tidak ada komentar: