Sabtu, 15 Desember 2007

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

“Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”
(Pramudya Ananta Toer)

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan, di berbagai belahan dunia, kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan. Gerakan pembebasan nasional di turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Dalam sejarah Indonesia sendiri, pelajar terdidik di Negeri belanda pertama kali mencetuskan konsep nasionalisme Indonesia dalam program perjuangannya. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Perancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda tidak boleh diremehkan, apalagi mencoretnya dalam proses penulisan sejarah.

Di Indonesia, wacana kepemimpinan kaum muda menimbulkan persilangan pendapat, yang terkadang perdebatan itu tidak berdasarkan logika berpikir ilmiah, dan objektif. Lihat saja, argumentasi beberapa kelompok yang tidak menghendaki kepemimpinan kaum Muda, menuduh bahwa sektor masyarakat yang satu ini tidak pantas untuk memimpin republik. Umumnya, kelompok penentang menganggap bahwa generasi muda Indonesia saat ini memiliki sentimen nasionalisme yang rendah, patriotisme yang kendor, dan moral yang rusak. Sedangkan dari kelompok pemuda sendiri, yang di motori oleh aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda menilai bahwa wacana kepemimpinan kaum muda adalah mungkin. Apalagi jika di letakkan dalam perkembangan situasi nasional sekarang, panggung politik nasional diisi oleh tokoh-tokoh tua yang sudah tidak capable untuk memimpin negeri ini. Kepemimpinan nasional sekarang yang masih di dominasi oleh tokoh tua tidak memberikan perspektif perubahan, malah semakin menyeret bangsa Indonesia dalam situasi nasional yang memprihatinkan; kemiskinan, korupsi, kelaparan, pengangguran, diskriminasi, dan kediktatoran.

Namun, perlu kiranya kita membongkar sesat pikir generasi tua Indonesia saat ini yang meremehkan kepemimpinan kaum muda dengan membuka kembali dokumen sejarah tidak tertulis, teori-teori, dan gagasan kaum muda yang relevan dalam perdebatan Ini.

Sejarah Indonesia adalah Sejarah Kaum Muda


Sejarah tidak di tentukan oleh Massa tetapi oleh tokoh, teriak Karl Manhein. Dengan logika berpikir seperti ini maka penulisan sejarah lebih berorientasikan patriotisme/heroisme individual, biography sang tokoh, dan sangat meminimumkan peranan massa. Jika sejarah adalah mulut yang bisa meludah, mungkin dia akan meludahi muka Karl Manhein yang telah mengambil kesimpulan salah tersebut. Sebenarnya sejarah adalah totalitas perkembangan masyarakat, dalam berbagai aspek tergantung mana yang menjadi fokus pengamatan kita. Namun, jika di analisa perkembangan masyarakat sejarah detail, maka akan diketemukan bahwa pikiran maju dan kehendak massalah yang telah menjadi motor utama pergerakan sejarah. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 merupakan salah satu stage dari perjalanan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membebaskan bangsanya. Boleh dikatakan bahwa kaum mudalah sebagai sang pelopor, bahkan karena semakin menonjol, Benedict Anderson(1972) menyimpulkan bahwa jiwa revolusi indonesia adalah kaum muda.

Contoh paling konkret soal kepeloporan kaum muda dalam masa awal revolusi adalah peristiwa rengasdengklok yang melahirkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh perbedaan pendapat antara tokoh muda dan tokoh tua soal kemerdekaan Indonesia. Bagi tokoh muda yang sebagian besar dari kelompok Asrama Menteng 31, bahwa kemerdekaan Indonesia haruslah hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Jepang. Bagi kaum Muda, kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur raya dan pasifik adalah ruang terbuka untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan bagi tokoh tua, dalam hal ini Soekarno-Hatta bahwa “kita tidak boleh gegabah dengan mengambil tindakan radikal melawan pemerintah Jepang, dan lebih baik menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, lewat Lembaga PPKI dan BPUKI. Kaum muda kemudian menculik Soekarno, dibawa kesebuah tempat bernama rengasdengklok, di tempat itu kaum muda meminta Soekarno (atas nama bangsa Indonesia) agar segera membacakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kejadian diatas di minimalkan, dan dikaburkan dalam penulisan sejarah Indonesia sekarang. Sehingga, banyak orang tua yang lupa bahwa sebenarnya bangsa dan negara yang bernama Indonesia, yang merayakan kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus adalah merupakan hasil perjuangan kaum muda.

Sangat penting melihat posisi kaum muda dalam konstalasi sejarah republik ini, sebab dari titik ini kita bisa menyimpulkan orientasi dan tindakan politiknya adalah merupakan upaya penyelesaian problem-problem pokok rakyat Indonesia. Setiap gagasan perubahan mesti memiliki orientasi dan tindakan politik yang berpihak kepada rakyat, ketiadaan orientasi dan tindakan politik yang jelas malah mengarahkan gerakan kaum muda pada ambiguitas. Sejarah Indonesia,memperlihatkan rekaman-rekaman tindakan politik mahasiswa sangat jelas keberpihakannya.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik kaum muda dalam proses dinamika sejarah Indonesia. Setidaknya untuk membuktikan, sekaligus memilah tindakan politik mana dalam patokan sejarah yang betul-betul menunjukkan bentuk perjuangan kaum muda yang genuine. Karena seperti yang di katakan oleh Bung Karno (di Bawah Bendera revolusi) bahwa gerakan mahasiswa harus lahir dari rahim ibu kandungnya sendiri: Ibu Pertiwi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik gerakan kaum muda adalah: pertama pilihan ideologi perjuangan sebagai arah/petunjuk orientasi cita-cita ideal pergerakan kaum muda. Ideologi merupakan pijakan bertindak, ibarat obor dalam kegelapan yang menuntun arah dari perjuangan kaum muda itu sendiri. Lebih jauh, pemahaman ideologis juga bermakna pemahaman teoritik dan praktek soal jalan keluar dari problem ekonomi-politik yang dialami oleh rakyat. Kedua lingkungan sosial dan politik, kalau gerakan mahasiswa tidak memiliki pijakan ideologis yang kuat maka kesadaran mereka sangat di tentukan dengan kosntalasi kehidupan sosial politik sekitarnya. Kenyataan menunjukkan kebangkitan kaum muda dan mahasiswa di dorong oleh keadaan sosial-politik di sekitarnya. Awalnya hanya dalam bentuk protes-protes kecil namun ketika di tanggapi oleh penguasa dengan represif, maka dengan cepat berubah menjadi gelombang protes sosial bahkan berubah menjadi proses revolusioner. Pengalaman Mahasiswa Korea, mahasiswa tidak menerima perlakuan aparat kepolisan terhadap demonstrasi buruh menuntut perbaikan kondisi kesejahteraan. Mahasiswa melakukan mobilisasi dan aliansi dengan pekerja, perlawanan ekonomi dan solidaritas berubah menjadi sentimen anti terhadap rejim yang diktator. Di Indonesia, Watak dan karakter rejim Orde baru yang sangat militeristik dan tidak berpihak kepada rakyat mendorong protes-protes mahasiswa. Ketika, rejim Orde Baru merespon dengan menggunakan kekerasan militer, gerakan mahasiswa berubah menjadi gerakan politik yang melibatkan massa rakyat menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Ketiga Pengalaman gerakan kaum muda di negara lain, kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1900-an banyak di stimulasi oleh kebangkitan dan kemenangan gerakan kaum muda di negara lain. Gerakan mahasiswa tahun 1966, sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Imperialis untuk menghentikan komunisme di Indonesia. Karena keberadaan PKI, yang makin kuat dalam hal politik(dekat dengan soekarno) dan mobilisasi menjadi ancaman terhadap aset-aset dan terutama kepentingan negara-negara Imperialis di Indonesia. Dan ini, bisa di buktikan dengan dokumen CIA yang baru di terbitkan soal keterlibatan CIA dalam kudeta militer di Indonesia, dimana kelompok mahasiswa menjadi salah satu agen sipilnya untuk melumpuhkan kekuasan soekarno dan kaum kiri. Itulah kenapa sastrawan Premoedya Ananta Toer tidak mau mengakui angkatan 66 sebagai salah satu stage dalam perjuangan mahasiswa.

Menimbang “Kemampuan/Capable” Kaum Muda untuk Memimpin


Argumentasi pokok dari kelompok yang tidak yakin dengan kemampuan kaum muda dalam mengambil alih kepemimpinan nasional negeri ini adalah bahwa Kaum muda sekarang sangat lemah semangat patriotismenya, dan rendah “moralitas”, dan argumentasi yang sifatnya psikologis bahwa kaum muda adalah kelompok umur yang masih labil, plin-plan, dan cenderung mengutamakan emosional. Landasan argumentasi dari alasan diatas sangat lemah dan tidak berdasarkan basis material yang jelas. (1). Bahwa sebenarnya problem bangsa sekarang adalah bukanlah problem moral, dan untuk menyelesaikannya pun bukan dengan berkhotbah soal moralitas. Malah persoalan moral sekarang sangat efektif untuk meredam dan memanipulasi kesadaran rakyat untuk mnerimo dengan situasi. Problem kebangsaan sekarang adalah problem ekonomi-politik, akibat dari pola kebijakan rejim yang berkuasa tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Kalaupun di katakan moral ini juga absurd! Karena terbukti moral generasi lebih tua tidaklah lebih baik. (2). Patriotisme tidak bisa di ukur dengan formalitas bahwa kita harus ikut ke medan perang, setia sampai akhir dengan merah putih, atau rajin upacara bendera. Patriotisme terbentuk berdasarkan lingkungan sosial dan politik pula, dan sudah barang tentu kesadaran patriotisme manifes dalam bentuk yang berbeda. Di jaman revolusi nasional, karena persoalan pokoknya adalah melawan penjajahan fisik maka bentuk manifestasi patriotismenya adalah mengangkat senjata. Di jaman sekarang, karena problem kemiskinan dan kesengsaraan datang dari bangsa sendiri maka protes dalam bentuk aksi massa yang marak hari ini adalah bentuk patriotisme baru rakyat Indonesia. (3) bahwa alasan umur ataupun perkembangan kejiwaan tidak bisa dijadikan patokan untuk ukuran seseorang “capable” atau tidak untuk memimpin. Karena sekali lagi, kepemimpinan politik hanya butuh dua syarat yakni dukungan politik yang luas dan kemampuan personal (kemampuan skill dan pemahaman ekonomi-politik). Dan menurutku syarat-syarat itu sama sekali tidak terkait dengan umur, meskipun pengalaman mempengaruhi. Seorang berumur 24 tahun belum tentu kalah cerdas dan kalah kemampuan dengan orang berumur 45 tahun.

Reformasi tahun 1998, telah menjadi investasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan kaum muda dan mahasiswa Indonesia. Kaum muda dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan pena telah berhasil merobohkan sebuah rejim yang sangat kuat dan kokoh; rejim Orde Baru. Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global[1] ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga Sidang Umum MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).[2]

Namun, meski berhasil menjatuhkan sebuah kedikatoran yang kokoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan tanpa kelemahan dan cacat. Salah satu point paling hangat diantara perdebatan yang muncul pada saat itu adalah soal kepemimpinan nasional dan bagaimana pokok-pokok tugas perjuangan mahasiswa Indonesia selanjutnya. Setidaknya perbedaan pandangan ini secara umum bisa di tarik dalam dua garis pandangan yakni gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok gerakan moral yang kebanyakan dari unsur Cipayung (HMI, PMII,GMKI, PMKRI,GMNI,IMM) dan kelompok BEM (badan Eksekutif Mahasiswa) menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Bagi mereka, tugas pokok hanyalah menjatuhkan soeharto dan setelah itu eksekusi/penyelesaian akhirnya di serahkan kepada tokoh politik/politisi. Kelompok inilah yang banyak menyokong Amien Rais, Gusdur, dan Megawati muncul dalam panggung politik paska Orde Baru. Tugas mahasiswa kembali ke kampus (Back to Campus) dan sesekali keluar ketika di butuhkan, untuk mengawal reformasi bisa berjalan konsisten. Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jatuhnya soeharto hanyalah salah satu tahapan dari perjuangan mahasiswa. Tugas selanjutnya adalah menghancurkan sisa-sisa Orde baru dan melapangkan jalan bagi terwujudnya demokrasi sejati. Untuk menciptakan prasyarat tersebut bagi kelompok gerakan politik adalah menciptakan pemerintahan transisi demokratik yang mencerminkan semua kekuatan prodemokrasi dan unsur-unsur gerakan rakyat. Usulnya beranekaragam misalnya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan konsep “Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik Kaum Muda dan Rakyat Miskin”, Forkot dengan Komite Rakyat Indonesia (KRI), dan FAMRED dengan Dewan Rakyat. Kelompok ini menolak Habibie (pengganti Soeharto) karena menurut mereka masih kelanjutan dari sistem politik Orde Baru, dan menganggap yang berubah hanya orangnya namun karakter, watak, dan cara-caranya masih kental dengan Orde Baru.

Benar, pemilu 1999 yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Habibie malah menjadi alat untuk konsolidasi kekuatan Orba. Proses reformasi yang mestinya di perdalam dan di perluas geografinya hingga kepedalaman justru ter-interupsi dengan masih kuatnya sisa-sisa Orde Baru dalam pemerintahan. Disisi lain, tokoh-tokoh reformis yang di percaya sebagian gerakan mahasiswa bisa membawa menuntaskan reformasi malah mengambil jalurnya sendiri. Pemerintahan Gusdur meskipun punya komitmen kuat mengadili Soeharto dan kroninya, namun tindakan politiknya ambigu sehingga membuat kekuatan pro-orde baru bisa mengkonsolidasikan diri dan menyusun “Impeachment” terhadap pemerintahannya. Gusdur di gantikan Megawati (di belakangnya adalah kekuatan Orde Baru), proses penuntasan reformasi semakin di tarik ke titik Nol. Megawati sejak jadi presiden sangat agressif dalam menjalan agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi impor, dan privatisasi BUMN yang berimbas pada keterpurukan ekonomi nasional. Pada titik ini, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas massa rakyat terhadap arah reformasi yang tidak berjalan konsisten. Proses politik paska reformasi pun menggelinding di lingkaran elit politik baru maupun lama, demokrasi dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan rakyat.

Saatnya Kepemimpinan Nasional di tangan Kaum Muda


Reformasi sebetulnya belumlah gagal total, karena beberapa aspek kemenangan menjatuhkan rejim orde baru, diantaranya: keterbukaan ruang demokrasi (space Of Democracy) meskipun masih dalam pengertian yang minimum masih bertahan. Menurutku disinilah letak kesalahan kaum muda dan gerakan mahasiswa paska reformasi, tidak mampu memanfaatkan ruang politik yang sedikit terbuka untuk masuk kedalam politik real dengan membawa agenda demokrasi dan program kerakyatan di dalamnya. Pemilu 1999, yang merupakan titik balik dari gerakan kaum muda dan mahasiswa justru di lewatkan begitu saja. Mayoritas kekuatan kaum muda masih menganggap arena pemilu sebagai arena yang tidak boleh di manfaatkan karena terlalu politis dan malah bisa menceburkan gerakan kaum muda dalam politik kotor. Padahal esensi mengintervensi ruang pemilu sebenarnya tidak lebih untuk menggempur dominasi politisi tua yang sudah terbukti gagal, dan mengolah ruang tersebut untuk lahirnya sebuah kekuatan politik alternatif.

Gerakan kaum muda dan mahasiswa saat ini masih di kuasai prasangka heroisme (baca;Advonturir) sehingga cenderung terjebak pada penyakit kekiri-kirian. Pandangan mendikotomikan ruang ekstra-parlementer dan parlementer adalah sebuah bentuk lain dari kesalahan gerakan mahasiswa memandang ruang politik real. Akibatnya, gejala menjadi aktivis muda dan mahasiswa hanya semasa masih muda, atau semasa menjadi mahasiswa. Setelah itu, aktivis-aktivis ini melakukan diaspora (menyebar) ke berbagai bidang pekerjaan dengan afiliasi politik yang sangat fragmentatif. Sekarang kita bisa melihat banyak mantan aktivis yang menduduki pos-pos jabatan di partai politik besar, jabatan di pemerintahan, atau ormas. Tetapi, mereka sama sekali tidak lagi merefresentasikan pandangan politik waktu semasa menjadi aktivis, karakter dan jiwanya lebih mirip dengan elit baru dalam kekuasaan.

32 tahun kekuasaan Orde baru telah menghancurkan semua tradisi politik dan gerakan yang ada dalam rakyat Indonesia termasuk kaum muda. Akibatnya tidak ada satupun organisasi pemuda yang mencerminkan kepentingan politik kaum muda, kebanyakan di isi oleh orang-orang yang segi umur bukan muda lagi. Lihat saja Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (kelahiran 16 Desember 1949), atau KNPI, BMI, GP-ANSOR, dan lain-lain kebanyakan Ormas kepemudaan tersebut di pimpin generasi tua yang meniti karir untuk partai. Organisasi yang betul-betul merefresentasikan kepentingan dan perjuangan kaum muda kebanyakan organisasi mahasiswa, namun pandangan politik mereka sangat lemah. Kebanyakan organisasi-organisasi tersebut di bentuk untuk memenuhi kepentingan partai mendapatkan konstituen di kalangan kaum muda (yang sudah bisa memilih), dan kadang-kadang di jadikan alat pertahanan (defensif Unit) untuk partai atau memukul kelompok lain.

Sebenarnya ada beberapa problem pokok gerakan kaum muda yang harus di selesaikan sebagai salah satu stage menuju konsolidasi kekuatan yang lebih kuat; pertama problem ideologi, yakni lemahnya pemahaman akan orientasi perjuangan kedepan. Kebanyakan organisasi mahasiswa dan pemuda yang ada sekarang masih di dominan pendekatan emosional, bukan pendekatan ideologis. Kedua problem organisasional, sampai saat ini belum ada organisasi pemuda mahasiswa secara nasional yang bisa menyatukan semua ormas pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, akibat pengaruh depolitisasi dan deorganisasi jaman Orde baru selama puluhan tahun, sekarang kita menyaksikan pemilahan yang kuat antara mahasiswa, pelajar (SMU), dan pemuda (non-SMU/mahasiswa). Tentunya, ini sangat menghambat pengorganisasian, dan proses kaderisasi dan penguatan ideologi perjuangan karena variasi pengetahuan. ketiga fragmentasi gerakan yang masih amat kuat di kalangan kaum muda, tidak ada upaya konsolidasi nasional yang sifatnya massal dan melibatkan semua ormas pemuda/ mahasiswa. Keempat masih sangat kaku dalam melihat momentum politik, misalnya momentum pemilu, pemilihan kepala daerah langsung (pilkada), dan lain-lain. Sehingga sangat susah untuk menemukan arena lain untuk menggusur generasi tua di luar mekanisme formal elektoral tersebut.

Bagaimana dengan perspektif kedepan? Sebenarnya situasi politik saat ini dan problem yang dialami oleh rakyat Indonesia mengharuskan kaum muda harus tampil kedepan, dengan landasan;(1) Bahwa rakyat sudah tidak percaya dengan formasi elit politik saat ini yang dinilai sudah gagal menciptakan perubahan. Krisis kepemimpinan ini jika tidak dimanfaatkan oleh kaum muda, malah bisa berbuntut oligarkhi politik, maksudnya adalah bahwa sistem politik sekarang di monopoli kekuatan tertentu yang berkuasa bukan karena dukungan rakyat melainkan karena faktor modal dan kekuasaan. (2). Ruang politik kedepan harus di manfaatkan, harus di olah oleh gerakan kaum muda, di kombinasikan dengan gerakan ekstra-parlementer(parlemen jalanan) untuk memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Menurut Alan R.Ball (1993), kumpulan pendesak merupakan agregat sosial dengan tahapan yang padu serta berkolaborasi untuk tujuan yang sama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses membuat keputusan politik. (3). Bahwa untuk kepentingan menciptakan kekuatan politik alternatif, gerakan pemuda-mahasiswa tidak perlu membentuk Partai pemuda yang isinya semua pemuda. Karena malah menyempitkan dukungan politik rakyat, lagipula tidak ada rumus perubahan dimanapun yang mengajarkan bahwa suatu sektor bisa berkuasa tanpa dukungan sektor lainnya. (4). Bahwa dalam menggagas kekuatan politik baru ini, gerakan mahasiswa dan pemuda harus membangun aliansi strategis dengan sektor rakyat yang lain seperti petani, buruh, pegawai rendahan, kaum miskin kota, pekerja seni, dan perempuan. (5) menyusun program –program perjuangan strategis yang merupakan solusi atau jalan keluar dari problem-problem pokok yang di alami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, program kita adalah menghentikan proyek neoliberalisme yang saat ini sangat massif di jalankan, menggantikannya dengan program ekonomi kerakyatan. Semaksimal mungkin program-program yang di usung mencerminkan tuntutan mendesak/darurat rakyat; seperti pendidikan dan kesehatan gratis, turunkan harga-harga, dan lain-lain.

Dalam lingkaran partai politik, berdiri Partai Pemuda Indonesia (PPI) tanggal 27 Mei 2007 oleh beberapa aktivis pemuda. Partai ini berharap menjadi saluran politik mahasiswa, pemuda dan pelajar dalam pemilu 2009. Namun, jelas orientasi dan tindakan politiknya tidak mencerminkan muara perjuangan politik kaum muda karena miskin program, konsep, dan pengalaman bersentuhan dengan gerakan mahasiswa dan rakyat. Berbeda hal dengan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang diinisiatif oleh partai pemuda dan mahasiswa radikal dalam menggulingkan Soeharto yakni Partai Rakyat Demokratik(PRD). Papernas memproyeksikan program-programnya untuk menyelesaikan problem-problem rakyat indonesia, yang menurut aktivisnya di sebabkan oleh imperialisme. Geliat kaum muda mulai kelihatan, setidaknya ini adalah langkah maju untuk mengkonkretkan wacana bahwa “Sudah Saatnya Kaum Muda Yang Memimpin”.

Kamis, 25 Oktober 2007

Che Guevara, Si Bung dari Latin


Ia bertualang dari satu negara ke negara lain. Semangat kepahlawan dan keteguhan prinsipnya menjadi simbol perlawanan kaum marjinal terhadap kapitalis. Berbicara tentang revolusi di Tanah Latin, tidak dapat dipungkiri nama Che Guevara menjadi legenda abadi. Kisah kepahlawanan tokoh kharismatis ini terus diceritakan turun temurun dari mulut ke mulut. Bukan hanya di tanah kelahirannya di Rosario, Argentina, namun terus menyebar ke sekujur Bumi, mulai dari pengayuh Gondola di Venice, sampai penyanyi punk di sudut pertokoan Dago di Bandung, Indonesia. Guevara tersohor lantaran menyerukan revolusi yang permanen, revolusi yang menyentuh semua batas. Hampir dari separuh hidupnya, Guevara membaktikan diri untuk perjuangan yang dianggapnya sebagai pembebasan demi kebangkitan gerakan revolusioner di Amerika Latin.

Ernesto Guevara de la Serna, demikian nama lengkapnya, lahir pada 14 Mei 1928 dari sebuah keluarga kelas menengah di Rosario, kota terpenting kedua Argentina setelah Buenos Aires. Guevara lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna. Bertualang dengan ‘Moge’ Jiwa revolusioner Guevara mulai terpupuk ketika pada 1949 ia melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara dengan bersepeda motor. “Saya ingin melihat banyak hal. Saya akan melakukan perjalanan mengelilingi Argentina, saya kan kembali dalam waktu tiga bulan, saat sekolah dimulai,” kata dia pada ayahnya sebelum ia melakukan perjalanan. Sang ayah yang sebetulnya keturunan bangsawan bukannya melarang, malah amat mendukung tekad Guevara. “Saya selalu mengizinkan untuk melakukan penelitian, penggalian, dan berusaha menemukan banyak hal untuk dirinya sendiri, sehingga dia bisa menjadi seorang laki-laki,” kata sang ayah dengan bijak, seperti yang dikutip dari buku Mi Hijo el Che (Che Anakku) karya Ernesto Guevara Lynch. Itulah untuk pertama kali Guevara bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian.

Dengan umur yang begitu belia, jiwa penjelajahan, dan rasa ingin tahu dalam diri Guevara berkembang. Penjelajahan Guevara nantinya akan sangat berpengaruh bagi karakter perjuangannya. Dari perjalanan itu, Guevara banyak bergaul dengan petani, dan tak sungkan membantu memanen hasil ladang mereka. Tidaklah heran bila di kemudian hari, Guevara acap mengidentikkan dirinya pada kaum tertindas. Kendati ia sempat mengecap bangku kuliah di bidang kedokteran di Universiti Buenos Aires pada 1948, tapi agaknya Guevara lebih doyan bertualang ketimbang mementingkan pendidikannya. Dan tiga tahun setelah penjelajahan di Argentina Utara, Guevara mengelilingi Amerika Latin menunggangi moge (motor gede) bersama sahabatnya Alberto Granado. Perjalanan yang berlangsung sejak Januari sampai Juli 1952 itu diawali dengan mengunjungi Peru, Kolombia, lantas Venezuela. Di Peru ia bekerja di koloni penderita kusta, ilmu yang ia kuasai dari fakultas kedokteran tempat ia pernah kuliah. Ia bekerja beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, Peru. Guevara juga bertemu Salvador Allende. Di Venezuela bernasib apes. Ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali. Guevara pun sempat mengunjungi Miami, kota tempat bermukimnya imigran asal Kuba. Guevara mengisahkan perjalanannya yang dramatis dan romantis tersebut dalam buku harian yang kelak dibukukan dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries). Saat revolusi nasional pecah di Argentina, Guevara hijrah ke La Paz, Bolivia. Namun ia dicurigai sebagai oportunis oleh kalangan revolusioner Bolivia karena ketidakjelasan prinsip politiknya. Guevara memutuskan hengkang dari Bolivia dan melanjutkan perjalanan ke Guatemala yang ketika itu dipimpin Jacobs Arbens. Sedikit demi sedikit, Guevara membangun keyakinannya berdasarkan Marxisme dan sosialisme. Meskipun begitu Guevara ogah bergabung dalam Partai Komunis.

Di Guatemala, Guevara tinggal bersama Hilda Gadea, aktivis penganut paham Marxis keturunan Indian. Lewat Hilda, Guevara diperkenalkan kepada Nico Lopez, salah satu letnan dari kelompok Fidel Castro (kelak menjadi pemimpin Kuba), revolusioner Kuba yang tinggal di pengasingan. Sedikit banyak Guevara berpartisipasi dalam memajukan revolusi Guatemala. Memang situasi politik di Guatemala saat itu sedang naik turun. Aksi nasionalisasi perusahaan United Fruit Company (UFC) yang dilakukan pemerintah Arbens menyebabkan reaksi balik dari perusahaan Amerika Serikat tersebut. UFC merekrut serdadu bayaran yang dilatih CIA, pimpinan Kolonel Carlos Castillo Armas. Pasukan ini menyerbu jantung ibu kota Guatemala. Pecahlah konflik antara pasukan pemerintah Jacobs Arbens dengan tentara sewaan UFC. Di situlah paradigma Guevara tentang AS terbentuk. Ia menganggap agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan ia semakin yakin, bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan.

Hijrah ke Mexico Akhirnya pada 27 Juni Presiden Jacobs Arbenz meletakkan jabatan. Dengan kata lain “kudeta” tentara bayaran pimpinan Armas yang dibekingi CIA berhasil memaksanya turun dari tampuk kepemimpinan. Pada Agustus di tahun yang sama tentara bayaran itu memasuki Guatemala City dan membantai pendukung rezim Arbenz. Melihat situasi yang semakin buruk dan membahayakan posisinya, Guevara meminta perlindungan politik ke Kedutaan Besar Argentina, lantaran ia sendiri masih tercatat sebagai warga negara Argentina. Setahun selepas Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Mexico City. Di sini ia meretas jalan sebagai pejuang revolusioner, dan bertemu kembali dengan Nico Lopez, yang kebetulan tengah berada di Negeri Sombrero tersebut. Lopez mempertemukan Guevara dengan Raul Castro, adik kandung Fidel Castro. Pertemuan ini menjadi titik balik kehidupan Guevara sebagai gerilyawan revolusioner. Nun jauh di sana, beberapa ribu kilometer dari Guatemala, Fidel Castro beserta para pejuang Moncada yang masih hidup dibebaskan dari bui oleh pemerintah Kuba pada pertengahan Juni 1955, lantaran tekanan publik yang gencar. Tiga pekan kemudian, Castro tiba di Meksiko dengan tujuan mengorganisir ekspedisi bersenjata ke Kuba. Castro merasa situasi Kuba tidak memungkinkan untuk membangun basis perlawanan, apalagi rezim Batista yang saat itu berkuasa di Kuba masih terlalu kuat.

Sekitar Juli-Agustus Guevara bertemu Castro. Guevara pun turut bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba ini dilatih perang gerilya secara profesional dan spartan oleh Alberto Bayo, serdadu berpangkat kapten dari Spanyol. Guevara selanjutnya terlibat dalam latihan perang gerilya, sehingga pejuang Kuba menggelarinya “Che” sebutan salam khas Argentina. Pertemuannya dengan Fidel Castro dan juga para emigran politik lainnya, membuat Guevara sadar bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari. Pemimpin yang mempunyai daya revolusioner dalam semangat dan perlawanannya. “ ....ketika sosialisme masih berupa benih, manusia adalah faktor dasar. Kami percaya penuh kepadanya—seorang individu, khusus dengan nama lengkapnya, Fidel Castro....,” kata Guevara pada suatu ketika dalam salah satu tulisannya. Pertemuan ini, kemudian dicatat sejarah sebagai awal terjalinnya duet pejuang revolusi Amerika Latin yang berpijak pada Marxisme. Che dan Castro ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam satu tautan ideologi, sosialisme dan Marxisme. Ketika Castro dan pengikutnya menyerbu Kuba pada Juni 1956, Guevara awalnya hanya diikutkan sebagai dokter, namun kemudian ia didaulat sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Che Guevara dianggap tokoh yang paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dalam menyusupkan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga orang yang berdisiplin, dan tidak sungkan menembak prajurit yang ceroboh. Di arena ini ia meraih reputasi atas kekejamannya ketika dengan dingin mengeksekusi para pendukung fanatik Presiden Batista yang terguling.

Ketika revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba, yang bertanggung jawab menggiring Castro menuju komunisme merdeka bukan lagi komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya.Pada 1965, Guevara meninggalkan Kuba untuk terlibat ldalam perjuangan revolusioner internasional. Ia mengembara sampai ke Afrika dan akhirnya ikut berperang di Kongo. Setahun berselang, Guevara masuk ke Bolivia, sekali lagi dengan gagasan mengorganisir pemberontakan dan berharap menjatuhkan pemerintahan militer Bolivia yang pro AS dan memasang pemerintahan komunis di sana. Namun nasib berkata lain. Pada 8 Oktober 1965 di dekat Vallegrande, Guevara tertangkap oleh pihak militer Bolivia. Atas perintah Presiden Bolivia Barrientos, Che dieksekusi mati. Selepas kematiannya, sosok Guevara bukannya tenggelam, malah figurnya semakin kuat, dan menjadi simbol perlawanan terhadap praktik penindasan sistem kapitalis yang dikuasai Barat.

Rabu, 10 Oktober 2007

13 Juta Anak Kelaparan dan 100 Juta Orang Miskin !


13 Juta Anak Kelaparan dan 100 Juta Orang Miskin !

Di tengah-tengah banjirnya berita-berita tentang korupsi di negeri kita, yang di antaranya ada yang meliputi jumlah sampai triliunan atau ratusan miliar Rupiah, dan banyaknya kasus penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, pengusaha-pengusaha besar dll dll, maka ada berita yang bisa membikin banyak orang kaget, atau marah, atau tercengang. Berita ini adalah yang menyatakan bahwa 13 juta anak-anak Indonesia menderita kelaparan karena kekurangan makanan !!!. (tanda seru tiga kali)

Menurut harian Suara Pembaruan tanggal 11 Juli 2007, Badan Dunia yang menangani masalah pangan, World Food Programme (WFP) memperkirakan, anak Indonesia yang menderita kelaparan akibat kekurangan pangan saat ini berjumlah 13 juta orang. Direktur Regional Asia WFP, Anthony Banbury, mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan itu tersebar di berbagai tempat di Tanah Air khususnya di tiga kawasan, yakni perkotaan, daerah konflik, dan daerah rawan bencana.

Ketika membaca berita yang macam ini, sungguh, wajarlah kiranya kalau banyak orang bertanya dengan berang dan teriak keras: “Mengapa bisa terjadi yang begini ini di negeri kita yang dikatakan orang sebagai negeri kaya ?” Dan, juga, sepatutnyalah kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa adanya 13 juta anak-anak Indonesia yang kelaparan itu membikin kita semua bertanya-tanya : apa sajakah yang tidak beres di negara kita? Dan siapa-siapa sajakah yang bersalah dan harus bertanggungjawab?

Kelaparan dan Kemiskinan

Banyaknya anak-anak yang kelaparan (mohon diperhatikan: 13 juta anak itu tidak sedikit!) agaknya mengharuskan kita semua untuk peduli atau peka-rasa terhadap keadaan yang menyedihkan bangsa ini. Sebab, anak-anak yang kelaparan itu pada umumnya juga mengalami berbagai macam penderitaaan lainnya lagi yang menyedihkan. Kalau untuk makan saja sudah kekurangan, maka tentu saja, akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan lain-lainnya untuk bisa hidup biasa. Anak-anak ini, biasanya kemudian menderita kurang gizi, kurang vitamin, mudah kejangkitan penyakit, sulit sekolah, tidak bisa belajar baik, tidak bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya dll dll. Jelaslah bahwa berbagai akibat amat negatif ini merupakan kerugian besar bagi generasi bangsa yang akan datang.

Apalagi, keadaan negara dan bangsa kita yang menyedihkan dengan adanya kelaparan anak-anak yang begitu besar jumlahnya itu diperburuk lagi oleh besarnya jumlah penduduk yang miskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa. Bagi kalangan pengamat, data kemiskinan BPS ini bertentangan dengan realitas (Media Indonesia, 4 Juli 2007).

Sedangkan menurut laporan Australia-Indonesia Partnership (Juli 2004) “Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta rawan terhadap kemiskinan. Pada tahun 2002, Bank Dunia memperkirakan 53% penduduk atau sekitar 111 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan standar internasional yaitu US$ 2 per hari. Kemiskinan bukan hanya sekedar masalah pendapatan dan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak memadai. Banyak penduduk miskin dan kurang mampu belum memiliki akses ke pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup. Sekitar 25 juta penduduk Indonesia buta huruf. Hampir 50 juta jiwa menderita gangguan kesehatan, sementara jumlah yang sama tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan. Banyak komunitas tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai seperti penyediaan air bersih, sanitasi, transportasi, jalan raya dan listrik. Persepsi bias terhadap perempuan masih berlaku, sementara konflik sosial dan agama serta bencana alam telah menyebabkan jutaan penduduk mengungsi dan terjerumus ke lembah kemiskinan atau sangat rawan akan kemiskinan” (kutipan laporan selesai).

Terburuk dalam 36 Tahun terakhir!

Keadaan negara yang sangat buruk dewasa ini juga telah dipaparkan oleh Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR sebagai berikut : « Kondisi masyarakat Indonesia saat ini merupakan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir. Hal itu dilihat dari melonjaknya angka kemiskinan serta meledaknya angka pengangguran, yang bila tak segera diatasi akan menjadi masalah besar bangsa, » katanya dalam makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 di Medan, Dia mengatakan, seiring dengan melonjaknya angka kemiskinan, angka pengangguran juga makin meledak. Tahun 2004, pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 9,7 persen, sementara tahun 2005 meningkat menjadi 10,3 persen.

"Akibat parahnya kesulitan ekonomi, pengangguran diperkirakan meningkat menjadi 11,1 persen tahun 2006. Bila ditotal dengan seluruh jenis pengangguran di Indonesia tahun 2006 diperkirakan mencapai 41 persen atau lebih dari 40 juta orang," katanya. (Antara News, 7 Juli 2007)

Dengan melihat angka-angka 13 juta anak-anak kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang hidup dengan kurang dari $ 2 sehari, serta sekitar 40 juta orang menganggur, maka jelas bahwa kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini adalah buruk sekali, bahkan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir !

Perlu Gerakan Moral untuk “Membrontak”!

Mengingat keadaan yang sangat menyedihkan demikian ini, maka terasa perlu sekali adanya gerakan moral yang dilancarkan oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan untuk menyuarakan -- secara lantang dan sesering mungkin ! -- kemarahan atau protes kita. Gerakan moral yang seyogianya didukung oleh segala macam bentuk kegiatan ini bisa dilakukan oleh partai-partai politik, dan segala macam ormas dan ornop, serta kelompok dan golongan dalam masyarakat luas. Partisipasi aktif kaum buruh, tani, pemuda, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota, amat penting dalam gerakan moral ini.

Juga, dalam gerakan moral ini, para intelektual, seniman, sastrawan, wartawan, penyair, pelukis, artis, perlu didorong untuk “membrontak” dengan berbagai cara dan bentuk terhadap keadaan yang menyedihkan ini. Artikel-artikel ilmiah perlu dibuat, segala macam tulisan perlu dikarang, lagu-lagu perlu digubah, ceramah dan seminar perlu diadakan, segala macam pertemuan perlu diselenggarakan, untuk menyalurkan protes, dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan dan menggugah keberanian untuk mengubah keadaan.

Gerakan moral semacam ini akan bisa merupakan jalan atau cara meningkatkan kesedaran bersama untuk melakukan segala macam perlawanan terhadap kelaparan anak-anak, terhadap kemiskinan yang menimpa begitu banyak penduduk dan terhadap pengangguran yang menganga begitu lebar itu. Seringnya diangkat terus masalah-masalah ini, dalam berbagai bentuk dan cara, oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan juga bisa merupakan “peringatan” bagi para penguasa dan “tokoh-tokoh” di berbagai lembaga pemerintahan dan masyarakat bahwa bangsa dan negara kita sedang menghadapi problem-problem yang cukup dahsyat dan mengerikan.

Gerakan Melawan Korupsi sebagai Partner

Gerakan moral untuk melawan kelaparan anak-anak, kemiskinan, dan pengangguran, yang didukung oleh berbagai macam kelompok dan golongan dalam masyarakat ini bisa menjadi sekutu atau kawan seiring dengan gerakan moral melawan korupsi, yang juga merupakan penyakit parah bangsa kita. Sebab, korupsi juga merupakan bagian dari sebab-sebab berbagai masalah yang diderita rakyat. Oleh karena itu, dalam kedua macam gerakan moral tersebut seyogianya semua fihak berusaha saling membantu, saling mendukung, saling mendorong, dengan menjauhi persaingan yang tidak sehat atau permusuhan yang tidak menguntungkan kepentingan bersama.

Mengingat besarnya dan luasnya berbagai masalah-masalah parah tersebut, maka alangkah baiknya kalau dalam gerakan moral ini tidak banyak dipersoalkan ideologi, atau aliran dan faham politik, atau agama dan keyakinan. Baik golongan Islam, maupun Katolik atau Protestan, baik yang Hindu maupun Buda, atau baik yang nasionalis maupun yang kiri, semuanya perlu didukung atau dibantu kegiatan mereka, asal terbukti tulus, jujur, bersih dan sungguh-sungguh untuk melawan kelaparan, kemiskinan dan pengangguran.

Gerakan moral melawan berbagai ketimpangan sosial yang serius ini, bisa juga merupakan kritik terhadap kebejatan moral – terutama di kalangan elite dan “tokoh-tokoh” – yang korup, dan tega hidup foya-foya dengan mewah berlebih-lebihan, ketika sebagian besar rakyat kita dalam kesusahan yang penuh derita. Sebab, sikap mental sebagian besar “kalangan atas” masyarakat Indonesia terhadap kehidupan rakyat banyak pada umumnya adalah sangat buruk, bahkan sangat banyak yang tidak peduli sama sekali. Banyak di antara mereka yang sudah menjadi pengkhianat kepentingan rakyat. Mereka inilah yang harus dikritik, atau dihujat, dan dijadikan salah satu di antara sasaran gerakan.

Apa sajakah sebabnya dan siapakah yang salah?

Selain itu, diangkatnya sering-sering berbagai masalah besar tersebut di tengah-tengah masyarakat merupakan juga pendidikan politik bagi orang banyak. Sebab, dalam mempersoalkan kelaparan jutaan anak-anak, atau kemiskinan yang besar-besaran, atau pengangguran yang luas, atau korupsi yang merajalela, agaknya terpaksalah akhirnya mempertanyakan apa-apa sajakah sebab-sebabnya, atau apa sajakah atau siapakah yang salah dan bagaimanakah kiranya mengatasinya atau mengubahnya.

Pandangan kritis atau yang mempertanyakan itu semuanya, yang diajukan oleh banyak orang, akan memungkinkan tumbuhnya kesadaran tentang perlunya solidaritas dalam perjuangan untuk melawan musuh yang sama juga, yaitu yang berupa kesenjangan sosial yang sangat parah.. Kesadaran kolektif ini kemudian bisa meningkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu pengenalan yang lebih baik terhadap sebab-sebab segala masalah besar tersebut.

Ketika berbagai masalah besar yang menyedihkan tersebut diatas diangkat dan ditelaah dalam-dalam, maka akan nampak dengan jelaslah bahwa berbagai akarnya itu terletak dalam sistem pemerintahan, dan politik, dan pengelolaan negara, (dan juga faktor manusianya!) yang sudah disandang sejak lama, yaitu sejak Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudahnya, sampai sekarang. Jadi, masalah-masalah besar itu adalah penyakit yang sudah kronis selama puluhan tahun, yang tidak dapat diatasi oleh pemerintahan yang sudah berganti-ganti, tetapi yang pada pokoknya tetap menjalankan politik yang sama atau itu-itu juga.

Karena selama 32 tahun Orde Baru tidak bisa diadakan perubahan-perubahan radikal dalam kehidupan rakyat, demikian juga halnya selama pemerintahan yang berganti-ganti sesudahnya, maka kemungkinan untuk adanya perubahan-perubahan besar di kemudian hari juga tetap tipis sekali, kalau sistem kekuasaan politik yang lama masih diteruskan. Perubahan besar atau radikal atas nasib rakyat hanya bisa terjadi kalau ada perubahan radikal dalam kekuasaan politik, yang memungkinkan dilaksanakannya perubahan-perubahan besar yang menguntungkan kepentingan rakyat banyak.

Jadi, berdasarkan pengalaman 32 tahun Orde Baru ditambah sekitar 10 tahun pasca-Suharto bisalah kiranya diramalkan bahwa jumlah anak-anak yang kelaparan, dan jumlah penduduk miskin serta pengangguran akan tetap besar di kemudian hari, selama berbagai politik pemerintahan tidak dirobah secara radikal, dan diganti dengan yang betul-betul mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak.

Salah besar, kalau “Nrimo” saja !

Bahwa 62 tahun sesudah diproklamasikannya kemerdekaan negara kita, sekarang ini masih terdapat 13 juta anak-anak yang kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang masih miskin, serta sekitar 40 juta orang tidak punya pekerjaan tetap, adalah suatu hal yang keterlaluan !!! Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kalau kita menyuarakan kemarahan dan menghujat berbagai politik pemerintahan yang menyebabkan lahirnya masalah-masalah besar yang menyengsarakan begitu banyak orang, dan dalam jangka waktu lama pula.

Adalah kuajiban kita semua yang luhur, dan juga hak kita semua yang sah dan adil, untuk bersama-sama memperjuangkan terberantasnya berbagai masalah besar tersebut di atas, sambil mengajak berbagai kalangan mana pun dan golongan apa pun untuk bangkit mengusahakan terjadinya perubahan sistem politik dan pemerintahan, dan menjadikannya betul-betul pro-rakyat.

Agaknya, perlu menjadi kesadaran kita bersama bahwa keadaan negara dan rakyat yang begitu menyedihkan dewasa ini sama sekali bukanlah takdir Ilahi, dan bahwa kelaparan jutaan anak-anak serta kemiskinan 100 juta orang lebih atau pengangguran 40 juta orang bukanlah pula kehendak Tuhan. Adalah tugas bersama kita semua untuk merubah keadaan yang menyengsarakan rakyat banyak itu. Dan adalah salah sama sekali kalau kita bersikap “nrimo” saja.

Hanya melalui jalan dan cara itulah maka masyarakat adil dan makmur -- yang dicita-citakan rakyat Indonesia bersama dengan Bung Karno -- akan dapat dicapai. Pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin (antara lain Venezuela dan Bolivia) memberikan contoh yang menarik, tentang pentingnya perubahan kekuasaan politik guna mengadakan perubahan fundamental demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukannya dengan cara-cara Orde Baru beserta berbagai pemerintahan yang menggantikannya.

Juga, pengalaman kita bersama selama puluhan tahun membuktikan dengan jelas sekali, bahwa hanya melalui perubahan sistem kekuasaan politik yang betul-betul pro-rakyatlah kita akan bisa menciptakan masyarakat adil dan makmur, sehingga bisa mentrapkan Pancasila secara nyata (dan menurut jiwanya yang asli, dan bukannya Pancasila palsu à la Orde Baru) dan sungguh-sungguh menjunjung tinggi-tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Habis Gelap Terbit Suram: Nasib Pekerja Indonesia


Habis Gelap Terbit Suram: Nasib Pekerja Indonesia
Seolah-olah sudah menjadi takdir kelas pekerja di Indonesia, bahwa kemiskinan dan tekanan hidup sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa di ubah. Setelah kaum pekerja berhasil menahan upaya revisi UU Ketenagakerjaan yang sangat merugikan buruh, pemerintah kembali bermanuver lain, dengan menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai berbagai klausul kontroversial dalam UU No 13/2003 yang masih menjadi pokok sengketa antara buruh dan pengusaha. Pemerintah dan DPR yakin bahwa keluarnya RPP ini bisa mengatasi kemacetan dalam implementasi UU ketenagakerjaan. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).

Kembali sebuah logika terbalik di jadikan alasan pembahasan klausul perundanga-undangan perburuhan untuk memanipulasi dan menipu buruh agar menerima paket-paket liberalisasi sektor perburuhan. Bahwa pemerintah mencoba menyelesaikan beberapa klaususl tersebut hanya dengan merubah redaksi, tetapi sama sekali tidak menyentuh problem pokoknya. Sangat jelas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan ada dua semangat yang sangat di tentang oleh kaum buruh yakni Sistem kontrak dan Outsourcing. Ketika persoalan fundamental ini tidak di selesaikan, maka bagaimanapun klausul yang di tawarkan oleh pemerinatah tidak akan menyelesaikan masalah. Erman Suparno, menteri tenaga kerja dan Transmigrasi menganggap bahwa RPP pesangon dan RPP Jaminan PHK ini adalah modal plus bagi hak-hak buruh selain hak buruh yang sebelumnya di jamin: Selain jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, dan kematian.

Memang sungguh hal miris, bahwa masih ada sekitar 60 ribu kasus pemutusan hubungan kerja(PHK) dengan nilai pesangon sekitar 500 Milyar rupiah, sampai saat ini belum diselesaikan. Tentunya ini adalah sebuah realitas yang tidak bisa di tutupi, dan butuh tindakan darurat untuk memberikan jaminan hukum dan mobilisasi anggaran hingga pekerja terpastikan menerima hak-hakanya tersebut.

Deregulasi Untuk Reformasi Sistem Perburuhan Indonesia

Secara umum perdebatan yang mengemuka antara beberapa Aliansi serikat Pekerja (terutama serikat buruh kuning) dengan pemerintah bertitik pada beberapa problem mendasar dalam Rancangan RPP itu, antara lain: soal premi 3 % yang ditawarkan oleh pemerintah (dan merupakan posisi mutlak Asosiasi Pengusaha) dan persoalan patokan perhituangan pesangon ditetapkan batas atas gaji yang menjadi faktor pengkali jumlah pesangon sebesar lima kali pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1 juta. Artinya, gaji maksimal pekerja yang dijamin pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta per bulan. Serikat pekerja melihat bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta maka RPP ini diskriminatif karena otomatis pekerja yang berpendapatan diatas gaji tersebut tidak akan memperoleh jaminan. Disisi lain, Erman Suparno, mewakili pemerintah beranggapan bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta itu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh ke mayoritas pekerja karena dari total jumlah pekerja Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat 99% pekerja yang berpenghasilan di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta) sedangkan yang berpendapatan di atas lebih kecil.

Esensi perdebatan ini sebenarnya tidak menyentuh asal –muasal dan kepentingan pokok yang ingin di targetkan pemerintah sebagai kelanjutan dari reformasi perburuhan agar mengikuti standar yang di inginkan oleh investor (pemilik Modal). Apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemodal dan pemerintah dalam pembahasan RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak dan RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). (1) Melestarikan sistem Kontrak dan Outsorcing. Kenapa? tuntutan perombakan sistem perburuhan seperti yang dikehendaki pemilik modal(investor) adalah sesuatu yang tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca; dikompromikan), sehingga harus di cari jalan untuk memaksakan sistem kontrak dan outsourcing tetap menjadi pilihan penguasaha. Dengan adanya jaminan pesangon, dan bahwa logika “Makin lama bekerja makin banyak gajinya” membuat buruh tidak teralalu pusing dengan status pekerjaannya (kontrak). (2). Di masa yang akan datang, Pemutusan hubungan kerja(PHK) akan semakin massif dengan berbagai alasan oleh pengusaha, dan bagi buruh setelah di PHK mereka mendapat jaminan mendapatkan pesangon. Sebenarnya ini hanyalah politik pengusaha dan pemerintah untuk melemahkan posisi buruh di tempat kerjanya (organisasi unit kerja) karena massifnya PHK, karena dengan PHK dan di topang outsourcing maka pengusaha bisa secara sepihak bisa menekan buruh dalam persolan upah, dan hak-hak normatif lainnya. (3). Bahwa kedua RPP, ini hanya bentuk lain dari revisi UU Ketenagakerjaan yang sudah di rubah bentuknya namun tidak menghilangkan substansi dan tujuan semulanya. (4) ini bisa di curigai strategi pemerintah untuk menghimpun dana tambahan dari masyarakat (utamanya pekerja) yang sebenarnya harus di simpan untuk jaminan hari tua/atau setelah di PHK, di sedot untuk di spekulasikan di bursa saham. Karena dalam prosesanya bentuknya bukan asuransi tetapi cenderung dalam bentuk reksadana.

Metode Legislasi Kebijakan yang Berulang-ulang


Metode yang di tempuh pemerintah, DPR dan pengusaha ini bukanlah “modus operandi” yang sama sekali baru, tetapi sudah berulangkali dilakukan. Kebijakan pemerintah yang dianggap mendesak oleh mereka, namun mendapat perlawan luas dari massa rakyat akan seolah-olah di hentikan, di rubah, dai modifikasi kemudian lahir kebijakan baru yang bentuknya di pecah-pecah agar tidak kasat mata di lihat kaum pekerja. SUDAH jelas bahwa RPP pesangon yang ditetapkan oleh Parlemen tersebut sama sekali tidak menjawab problem mendasar dari pekerja. Kalaupun RPP itu menjamin hak-hak pekerja untuk mendapat pesaangon sesuai dengan ketentuan pendapatan tidak kena pajak (PTKP), tetapi dilapaangan praktek UU itu tidak mampu memaksa pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut. dalam ketentuan penerapan Upah Minimum Propinsi saja misalnya, masih banyak perusahaan yang melanggar dan membayar di bawah standar namun karena berbagai alasan irasional, pemerintah seolah-olah membiarkannya. Disamping itu, ada celah yang tersedia di RPP ini bahwa tanggung jawab membayar pesangon bukan lagi tanggung jawab pengusaha bersangkutan tetapi bisa di alihkan ke perusahaan asuransi.

Sebenarnya jikalau pemerintah ingin memberikan perlindungan terhadap pekerja, termasuk berbagai kasus PHK yang upahnya belum dibayarkan (menurut menakertrans) maka persoalan fundamentalnya adalah merombak regulasi perburuhan kita dengan tidak mengijinkan sistem Kontrak, outsourcing, membuat aturan yang melarang PHK, dan tidak mendiskreditkan serikat buruh—utamanya serikat buruh radikal. Tidak ada lagi diskriminasi antara sektor formal dan informal, dan pemerintah mestinya lebih berpihak kepada buruh dalam persoalan industrial. Pemerintah harus tegas dan berdaulat dalam menghadapi dan menekan perusahaan yang seenaknya saja memasukkan dan memindahkan investasi dari indonesia keluar.

Cukup sudah alasan investasi, dijadikan tameng untuk melepaskan gandul yang akan memukul lonceng kematian kaum buruh, karena tanpa kelas pekerja sebenarnya negara tidak ada apa-apanya.

Pancasila Berubah Menjadi Pancasial !

Pancasila Berubah

Menjadi Pancasial

Dalam sejarah Pancasila, sejak 1 Juni 1945 sampai sekarang mengalami perubahan rumusan sesuai dengan perkembangan, baik secara logika maupun demi kekuasaan. Pada paruh tahun 50-an sampai 60-an, sosialisasi tentang Pancasila dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemasangan pagar bambu di tepi jalan.

Untuk penggambaran Pancasila, dipasanglah belahan bambu yang memanjang sebanyak lima buah (gapit, Jawa). Pada tahun 80-an, Orde Baru menggalakkan pembudayaan P4 melalui penataran sebagai pelaksanaan Tap II/MPR/1978. Kini Tap tersebut entah ke mana, padahal baru berusia 28 tahun.

Secara logika, kalau Tap II/MPR/1978 bisa hilang dari peredaran, apalagi Tap XXXIII/MPRS/1967 yang cenderung lebih tua, mestinya akan hilang dengan sendirinya. Pada era Orde Baru sampai sekarang Pancasila tidak lebih dari sekadar bacaan pada kegiatan upacara dan makna yang terkandung di dalamnya terabaikan.

Saya khawatir Pancasila akan berubah menjadi Pancasial yaitu:

1. Ke-tua-an yang kuasa;

2. Kemanusiaan yang kerdil dan biadab;

3. Perseteruan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebejatan dalam kemaksiatan;

5. Ketidakadilan bagi seluruh rakyat kecil Indonesia.

Pada Langendrian Damarwulan, ada pupuh Dhandhanggula sbb:

Siwa patih marma sun timbali,

Ingsun paring weruh marang sira

Yen ingsun antuk wangsite

Saka dewa linuhung

Saranane paprangan iki

Kang bisa mbengkas karya

Bocah saka gunung

Kekasih Damarsasangka

Siwa patih iku upayanen nuli

Jwa kongsi kepanggya.

Pupuh tersebut menggambarkan pemimpin yang memperhatikan rakyat kecil dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu butir budaya Jawa mengatakan: Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. Pada masa sekarang, adakah pemimpin semacam itu?

Selasa, 09 Oktober 2007

Mengapa Kiri Dibenci?

Mengapa Kiri Dibenci?

Kata "kiri" sudah lama sekali menjadi sesuatu yang angker sekaligus amat sexy di negeri ini, tapi diam-diam juga dibenci. Istilah "kiri" biasanya mengacu pada sesuatu yang berkaitan dengan komunisme, sosialisme dan marxisme (walaupun ketiga hal itu tentu saja berbeda satu sama lain) atau sesuatu yang anti-kemapanan.

Sejak komunisme diberangus oleh rezim Orde Baru dan terus-menerus dijadikan the invisible enemy—musuh tak kasat mata, bahaya laten dan sebagainya—diam-diam "cap kiri" juga mengalami sofistikasi menjadi sesuatu yang cenderung dihindari sekaligus bikin penasaran.

Mungkin itu sebabnya ketika Orde Baru tumbang setelah Soeharto dipaksa turun dari singgasananya pada 1998 dan militer tak lagi bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini, "buku-buku kiri" yang tadinya dilarang beredar dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan risiko hukuman penjara (ingat kasus Bonar Tigor Naipospos yang dipenjarakan gara-gara mengedarkan buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer) diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis di pasaran.

Buku-buku karangan dan tentang Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Che Guevara, Karl Marx dan yang nyerempet-nyerempet isu kiri menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Dalam waktu sekejap buku-buku semacam itu berkali-kali dicetak ulang dan tak perlu lagi diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi.

Madilog dan Gerpolek tidak lagi menjadi barang langka. Gambar dan poster Che Guevara laris di mana-mana seiring dicetaknya bagian-bagian yang diterjemahkan dari Guerilla Warfare. Das Kapital, karya legendaris Karl Marx, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, diterbitkan secara massal, dan bisa didapat secara terbuka. Sesuatu yang mustahil terjadi sepuluh atau dua belas tahun silam.

Pada tahun 1994, saya pernah ditawari tiga jilid Das Kapital dan sebuah Madilog keluaran tahun 1950-an yang disembunyikan di atas loteng toko oleh seorang pedagang buku bekas di kawasan Taman Mini dengan harga selangit mahalnya. Sebuah toko buku di kawasan TIM pun mesti menyembunyikan tetralogi novel Bumi Manusia karya Pramoedya di atap toko untuk "berjaga-jaga".

Setelah adem-ayem selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja kini kita "dikejutkan" oleh peristiwa sweeping buku-buku "kiri" di toko buku Ultimus, Bandung, menyusul pembubaran diskusi oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah ormas anti-komunisme.

Peristiwa pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme yang diikuti penangkapan peserta diskusi dan sweeping buku-buku "kiri" oleh polisi yang terjadi di toko buku Ultimus beberapa hari lalu tentu saja bukan kabar menggembirakan bagi perkembangan demokratisasi dan intelektualitas di negeri kita. Pemberangusan buku bukanlah tindakan yang terpuji, apalagi itu diprovokasi oleh "polisi-polisi preman" yang jelas tak punya hak untuk melakukan tindakan-tindakan semacam itu.

Saya kira, daripada mengusik benih-benih persemaian intelektualitas dengan membubarkan diskusi melalui cara-cara kekerasan dan memberangus buku, akan lebih baik jika aparat keamanan lebih serius menangani maraknya gejala anarkisme kolektif yang berkedok kepentingan masyarakat, tetapi pada praktiknya justru meresahkan masyarakat.

Toh, rakyat kita sesungguhnya tidak bodoh dan bukan anak kecil yang belum mampu memilih sehingga mesti dicekoki.(www.rumahkiri.net)

Sampai Kapan Pembodohan di Negeri ini terus Berlangsung?

Sampai Kapan Pembodohan di Negeri ini terus Berlangsung?
Segera Hentikan!

"Kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi sasaran penyebaran ajaran berbau komunis, sehingga harus diantisipasi," demikian pernyataan Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, usai menghadiri seminar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bekasi, Rabu (13/6) (Republika, 14 Juni 2007). Tidak hanya itu, pernyataan bodoh tetapi populer itupun disertai dengan beberapa pernyataan bodoh lainnya, seperti: “jangan sampai konflik internal antarumat beragama dan kemiskinan dimanfaatkan oleh orang-orang komunis untuk menyebarkan ajarannya”; “FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) harus mampu mensejahterakan anggotanya dengan berbagai cara agar tidak menjadi sasaran penyebaran ajaran berbau komunis”; “konflik horizontal di masyarakat akan menjadi sasaran dan ladang empuk bagi komunis menyebarkan ajarannya dengan mengumbar segudang janji untuk menarik simpatik masyarakat.”

Setelah menyimak pernyataan tersebut, segera kita bertanya: jika mamang terjadi konflik internal antarumat beragama dan kemiskinan merajalela, mengapa komunisme yang kemudian menjadi sasaran tembakan? Jika memang ada konflik internal antarumat beragama, kewajiban seluruh umat beragamalah untuk memecahkannya, bukan kemudian menduga-duga pihak tertentu akan memanfaatkan keadaan tersebut. Demikian pula soal kemiskinan. Jika memang kemiskinan dan jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar, maka persoalan kemiskinan dan kesenjanganlah yang harus dipecahkan, bukan mencari kambing hitam yang dianggap (bahkan dituduh) akan memanfaatkan kondisi tersebut.

Jika kita melihat kenyataan dengan pikiran yang lurus dan benar—jujur dalam melihat apa yang terjadi—bukan komunisme yang sesungguhnya tengah mengacamkan masyarakat kita, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang menjadi musuh komunismelah yang semakin terang-terangan menampakkan dirinya dan terbukti merusak sendi-sendi kehidupan manusia: fanatisme agama, liberalisme, dan kapitalisme/imperialisme (Heryanto, 2004). Jika bung Hidayat Nurwahid cukup nalar dalam menghadapi kenyataan dan mampu berpikir lurus dan benar, kami yakin akutnya persoalan sosial, ekonomi dan politik yang melanda bangsa ini bisa dipecahkan tanpa harus mencari kambing hitam dan meneruskan proyek pembodohan Orde Baru yang berlangsung 32 tahun lamanya. Sebagian besar rakyat di negeri ini sudah cukup menderita akibat penghianatan terhadap cita-cita Revolusi Indonesia dan UUD 45. Karena itu, sudah sepantasnya bung Hidayat sebagai ketua MPR tidak menambah persoalan rakyat dengan membodohi dan menularkan kekeliruan berpikir yang akan merusak sendi-sendi kemanusiaan.(www.rumahkiri.net)

Marxisme: Masihkah Relevan?

Marxisme: Masihkah Relevan?


Dengan runtuhnya Tembok Berlin pada penghujung abad XX, bipolarisasi kekuatan Barat dan Timur berakhir. Politik hegemoni dua negara adikuasa terjungkal. Orientasi ideologi disubstitusi oleh orientasi persaingan ekonomi. Uni Soviet bubar sementara Amerika Serikat menjadi hansip dunia. Runtuhnya imperium Uni Soviet, Kebangkitan RRC menjadi negara kuat, Kuba dan Korea tetap bertahan, Vietnam terobsesi menjadi negara yang patut diperhitungkan, paling tidak di regional ASEAN.

Dari fenomena tersebut muncul pertanyaan: Apakah marxisme masih relevan dewasa ini? Terhadap pertanyaan ini jawabnya singkat dan pasti, yaitu relevan. Dikatakan demikian karena pemikiran Marx, terutama karya-karya awal, Marx muda yang mempercakapkan alienasi dan humanisme merupakan sumber rujukan bagi upaya untuk mengatasi disorientasi humanitas dan kondisi akut anomali moralitas yang semakin memprihatinkan dewasa ini. Marxisme masih relevan bahkan penting untuk dipercakapkan terutama dalam diskursus ilmiah. Dikatakan penting mengingat pemikiran Marx sarat dengan filsafat kerja. Filsafat kerja tersebut secara radikal membongkar harkat dan martabat manusia sebagai mahluk alam. Berhadapan dengan alam manusia sebagai mahluk serba utuh harus bekerja. Melalui kerja sebagai mediasi manusia dengan alam, manusia mengaktualisasikan segenap potensi, bakat dan kemungkinannya. Kerja membedakan manusia dengan binatang. Melalui kerja, segenap potensi dan kemungkinan individu berkembang secara optimal. Frasa filosofis ini sering terabaikan. Individuasi berlangsung melalui kerja. Melalui kerja dunia dan alam termanusiakan.

Kendatipun tidak beorientasi individualitas, namun individuasi dan bukan individualisasi. Istilah ini bukan dari Marx, akan tetapi dari saya sendiri (Pen) selama ini terkaburkan dalam keseluruhan karya Marx. Individuasi adalah suatu kekuatan tersembunyi mengakibatkan marxisme relevan untuk dipercakapkan dewasa ini. Dalam individuasi, individu dengan cahaya kesadaran kelas terafirmasikan. Individu adalah sarang kesadaran kelas dalam bingkai societal, inilah humanisme. Individuasi dalam humanisme Marx mengisyaratkan setiap orang menjadi dirinya menurut syarat-syarat dan tuntutan sosietal. Setiap orang menikmati kebebasan dan berpeluang untuk mengaktualisasikan segenap potensi dan kemungkinan, bakat dan berbagai kecenderungan lainnya secara optimal. Individuasi sebagai 'mode eksistensi' humanitas Marxisme mencerminkan keselarasan antara individu dan masyarakat. Penampilan orientasi individuasi ini terbuka untuk diperdebatkan, namun dapat menjadi pemicu bagi reiniventisasi makna tersembunyi dari marxisme. Analisa tentang manusia dan interaksi dengan sesama tertuang dalam karya karya awal Marx, terutama dalam Naskah-Naskah Paris. Hanya saja, karena Marx selama ini dikaitkan dengan manusia sebagai mahluk sosial, menyebabkan konsep ini terabaikan. Individuasi yang menjadi kepedualian Marx dan hubungannya dengan kerja menjadi relevan justru karena kondisi humanitas dewasa ini, individu dalam konteks sosial semakin kehilangan hakikatnya sebagai manusia. Dalam individuasi manusia sebagai mahluk sosial terafirmasikan. Dan hanya dalam komunitas atau masyarakat, individu berkembang. Gagasan Marx tentang kerja berkaitan dengan konsep tentang alienasi. Istilah alienasi yang dipinjam dari Hegel. Marx menggeserkan alienasi roh ke tataran kehidupan kongkret dan bukan abstrak, dalam pengertian dialektika roh Hegel. Selain alienasi manusia dari kerja, Marx selanjutnya juga mengetengahkan alienasi lain seperti alienasi sosial dan alienasi religius. Pada Marx, konsep alienasi merupakan sumbangan berharga bagi pemahaman kondisi masyarakat posmodernitas dewasa ini.

Untuk menjawab relevansi Marxisme paska runtuhnya imperium Uni Soviet, penting untuk membedakan marxisme dengan Neo-Marxisme. Yang disebutkan terakhir secara tegas mengutuk kediktatoran Stalinisme. Validitas ajaran Marx tua pada umumnya dan Marx muda pada khususnya, dalam kaitannya dengan kapitalisme tua secara kritis dipertanyakan dan diberikan tafsiran baru. Gagasan Marx awal tentang alienasi, humanisme dibongkar dalam upaya untuk memperoleh pola dan hukum hukum perkembangan kapitalisme tua abad XX. George Luckack mengintrodusir kesadaran sejarah, sedangkan Ernest Bloch menempatkan utopi Marx justru sebagai kekuatan emansipatoris. Mereka bersikukuh pada pendirian bahwa marxisme sebagai metode tidak keliru. Kedua tokoh ini tak pelak lagi dikenal sebagai pendahulu Mazhab Frankfurt. Premis-premis filosofis Marx yang bertumpu pada humanitas dijadikan sebagai dasar pencerahan untuk memperoleh pola dan hukum perkembangan masyarakat dalam system kapitalisme. Orientasi ini selanjutnya menjadi perhatian Hoikheimer. Sementara Gramci mencurahkan perhatian pada dominasi dan kekuasaan, Adorno pada seni dan estetika. Ardono menafsirkan kembali gagasan-gagasan emansipatoris Marx muda terutama tentang humanisme dan alienasi, serta mensiasati transformasi watak eksploitatif kapitalisme. Mereka terobsesi untuk mengaktualisasi humanisme Marx demikian Jurgen Habermas, generasi kedua mazhab Frankfurt memperkaya marxisme dengan menampilkan komunikasi sebagai salah satu watak dasar manusia. Melalui konglomerasi kerja dan komunikasi suatu makna emansipatoris terpahamkan melalui dialog. Dengan dialog, ia hendak menuntaskan aspirasi Marx sekaligus mengakhiri eksploitasi kapitalis pada abad modernitas dewasa ini.

Pada neo-marxisme dimensi psikoanalisa dan kebudayaan dimasukkan ke dalam marxisme. Fetitisme yang berpuncak pada orientasi konsumeristik menjadi perhatian Adorno dan Marcuse. Berbagai dimensi manusia dibongkar. Marx adalah filsuf dengan gagasan-gagasan revolusioner, dekonstruktif dan emansipatoris. Pemikiran Marx muda mengusung premis-premis filosofis dan utopia sarat dengan advokasi dan bermuatan proyektif emansipatoris ke masa depan. Karl Korsch, tokoh Neo-Marxisme mengangkat unsur utopi yang tersebar hampir di seluruh karya Marx. Dikatakan bahwa utopi sebagai biang kerok kegagalan perjuangan kelas justru merupakan kekuatan dahsyat bagi antisipasi terhadap realisasi masyarakat tanpa kelas. Atas orientasi utopi ini marxisme membuka berbagai perspektif baru. Validitas Marxisme justru terletak pada visi humanisme. Kegagalan Marx dalam tingkat praxis bukan berarti kegagalan di dataran teoritik. Hal senada diungkapkan oleh George Luckack bahwa secara teoritis Marxisme tetap sahih. Ditambahkan, Marxisme jangan dihakimi karena kegagalan dalam implementasi. Ditegaskan bahwa secara teoritik, episteme Marx tetap dijadikan acuan.
Gagasan-gagasan Marx, terutama karya-karya awal menjadi landasan teori kritisisme Neo-Marxisme diproyeksikan sebagai upaya untuk membongkar eksploitasi permanen kapitalis tua sekaligus melepaskan manusia dari eksploitasi manusia atas manusia. Marxisme direinterpretasikan secara kontekstual sesuai dengan perkembangan kapitalisme tua. Marxisme diteropong melalui ancangan baru. Unsur psikoanalisa dan kebudayaan, historisitas dikawinkan dengan basis ekonomi Marxisme ortodoks. Dengan demikian, relevansi marxisme terletak pada unsur humanisme, alienasi dan filsafat kerja yang diusungnya. Atas dasar asumsi ini, Marx menegaskan bahwa komunisme adalah penghapusan hak milik, alienasi diri manusia. Komunisme tidak lain adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya sebagai mahluk sosial. Marx menegaskan bahwa: 'komunisme sebagaimana suatu perkembangan penuh naturalisme adalah humanisme', selanjutnya ditandaskan bahwa 'sebagaimana suatu perkembangan penuh humanisme adalah naturalisme'. Dalam Theses on Feuerbach, dikatakan bahwa: 'Para filsuf selama ini sibuk menafsirkan dunia, pada hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia'. Filsafat harus bersifat praxis, tidak untuk berpangku tangan melainkan berfungsi terapheutik bagi terciptanya humanisme.

Dalam nubuat praxis ini, Marx menekankan bahwa komunisme adalah resolusi definitif terhadap antagonisme antara manusia dan alam, antara manusia dan manusia, antara eksistensi dan esensi, antara obyektifikasi dan afirmasi diri, antara kebebasan dan nesesitas, antara individu dan spesis. Komunisme adalah solusi bagi teka-teki sejarah dan pengetahuan tentang dirinya sendiri, tertorehkan dalam Economic and Philosophical Manuscript. 1). Magnus opus Ideologi Jerman, Naskah-Naskah Paris, Grundrisse dan Das Kapital merupakan polemik melawan Bruno Bouer, Max Stirner, L. Feuerbach dan Hegelian Muda pada umumnya, dan dengan Karl Grun dan Sosialisme Jerman pada khususnya. Buku Jerman Ideologi memuat pandangan materialisme-historis, teori transformasi sosio-historis, dan teori-teori ilmu pengetahuan, termasuk prinsip-prinsip moral humanisme. Posisi normatif politik dikokohkan dalam advokasi komunisme dan revolusi komunisme, visi humanisme dalam bentuk kasar. Dikatakan bahwa komunisme memungkinkan seseorang melakukan pekerjaan hari ini, dan yang lain keesokan harinya, berburu di pagi hari, memancing pada sore hari, mengembalakan ternak pada siang hari, mengkritisi sehabis makan malam, tanpa harus menjadi seorang pemburu, nelayan, pengembala atau seorang kritikus. Citra manusia paripurna dalam bingkai masyarakat tanpa kelas ini tertuangkan dalam The German Ideology. 2).

Relevansi marxisme dewasa ini juga terletak pada kondisi obyektif kapitalisme tua upaya sistematik untuk mentransformasikan eksploitasi mereka ke dalam sistem ekonomi global dewasa ini. Dalam pelanggengan kekuasaan dan eksploitasi melalui transformasi dalam globalisasi dewasa ini marxisme menjadi semakin relevan. Persoalan akut kapitalisme bisa diteropong melalui humanisme Marx. Marx menjadi mandul dan kadaluwarsa tatkala meletakkan marxisme hanya pada pandangan deterministik ekonomi. Gagasan Marx tentang relasi sosial tidak melulu tergantung pada faktor tunggal ekonomi-politik melainkan bagaimana ekonomi saling mempengaruhi unsur-unsur lain. Dikatakan: 'tanpa naungan segenap relasi masyarakat. Bagaimana sesungguhnya suatu formula logis tunggal dalam sekuen waktu perkembangan menjelaskam struktur masyarakat, dimana segenap relasi berkoeksistensi secara simultan dan saling mendukung satu sama'. Althusser memberikan interpretasi terhadap perdebatan kekuatan determistik sub-struktur sebagai satu-satunya turbin penggerak perkembangan masyarakat. Pertama, Marx mengusulkan suatu pandangan masyarakat sebagai sesuatu relasi independen kompleks ketimbang suatu pola sebab dan akibat. Kedua, Ia menolak formula logis tunggal. Althusser mengutip surat Engels kepada Ernest Bloch, ditulis tahun 1890, Engels menandaskan bahwa basis ekonomi 'menentukan', tetapi hanya 'dalam tahapan akhir'. Lebih dari itu Marx dan Saya tidak pernah menekankan, demikian Engels. Karena jika orang mengkaitkan hal ini dengan mengatakan bahwa unsur ekonomi satu-satunya faktor penentu, maka ia mentransformasikan proposisi ini kedalam sesuatu tanpa makna, ke dalam frasa abstrak dan kosong. Meyer dan Althusser mengatakan bahwa relasi fungsional basis ekonomi dianggap sebagai yang dominan, tetapi bukan penentu eksklusif, yang ada adalah interaksi timbal balik. Produksi melalui basis ekonomi saling berkaitan dengan unsur lain dari kompleks sosial. 3)

Inter-relasi antar unsur dan bukan bertumpu pada basis ekonomi sebagai satu satunya unsur penggerak perkembangan masyarakat yang selama ini terlupakan boleh memperkuat argumen bahwa marxisme masih relevan dewasa ini. Fenomin post-modernisme dan dekonstruksi terhadap logosentrisme, marxisme memberikan kontribusi bukan saja pada epistemology, melainkan juga pada tujuan praktis. Humanisme Marx yang tertuang dalam Naskah-Naskah Paris sarat dengan humanisme, hakikat kerja dan relasinya dengan manusia, keterasingan manusia dalam masyarakat global dewasa ini serta berbagai situs pemikiran Marx lainnya yang bersentuhan dengan permasalahan akut manusia global dewasa ini. Watak rakus dan eksploitatif kapitalisme semakin canggih sesuai dengan perkembangan teknologi dalam dunia maya dewasa ini dapat disasati melalui ancangan marxisme.

Melalui pesan pesan emansipatoris marxisme yang sarat dengan filsafat kerja, konsep alienasi dan nilai humanisme lainnya, suatu proyeksi ke masa depan dengan nuansa humanitas yang telah didesain semakin penting dan bahkan mendesak untuk dicermati.

Senin, 08 Oktober 2007

Apa sih yang Disebut Kiri itu?

Apa sih yang Disebut Kiri itu?

Kiri, adalah jika orang berdiri menghadap ke Timur maka di sebelah kirinya adalah Utara. Suka atau tidak suka. Dan di sebelah kanannya adalah Selatan, juga suka atau tidak suka.

Di Amerika, yang disebut kiri atau left berarti “The individuals and group who advocate the adoption of sometimes extreme messure in order to achieve the equality, freedom, and well-being of the citizens of a state”. (Perorangan atau kelompok yang membenarkan dipakainya sewaktu-waktu tindakan ekstrim untuk mencapai persamaan, kemerdekaan, dan kesejahteraan warga negara dari suatu negara). Dan berarti juga “The opinion of those advocating such messures as opposed to conservative opinion”. Jadi ringkasnya “kiri” itu kebalikan dari “konservatif”.

Dahulu ketika kita dijajah, kaum kolonial Belanda mengonotasikan bahwa seseorang yang berpeci itu adalah “kiri” alias penentang pemerintah kolonial Belanda. Barangkali juga ada benarnya, sebab Alimin tokoh PKI yang memberontak tahun 1926 memakai peci, Soekarno yang dirikan PNI di tahun 1927 dan bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, juga memakai peci.

Terjadilah suatu peristiwa di Sekolah Menengah Umum yang ketika itu masih disebut AMS (Algemeene Midelbare School) di Jogja. Seorang murid sekolah itu memasuki kelas memakai peci di kepalanya. Begitu dia duduk, gurunya yang Belanda itu menghardik: “Der af of deruit”. Artinya: “tanggalkan atau keluar”. Sudah tentu yang dimaksud adalah peci di kepala si murid. Dengan tenang si murid berdiri dan melenggang ke luar kelas. Murid itu bernama Moh. Yamin.

Sekitar 80 tahun yang lalu, Sarekat Islam dengan pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dalam suatu kongresnya melahirkan keputusan: “Berjuang melawan kapitalisme yang zalim”, dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto… memakai peci alias kopiah. Maka di mata Belanda kolonial, berpeci berarti kiri.

Dari kenyataan tersebut di atas, terbukti yang disebut kiri itu adalah pihak yang tidak betah pada keadaan yang berlangsung dan menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik. “Kehendak untuk menjadi lebih baik”, setiap orang bernalar sehat tidak akan mempersalahkannya.

Dan manakala si kiri itu naik ke pentas kekuasaan, manakala dia tidak melanjutkan kekiriannya, untuk senantiasa dengan sungguh mengupayakan perbaikan-perbaikan untuk lebih baik dari yang sudah dicapai, maka ia akan terperosok menjadi “kanan” dan kekananannya itu akan melahirkan “kiri” baru yang lebih baik, lebih arif, dan lebih santun dari yang sebelumnya.

Jika ada yang berpikir, bahwa “kiri” dan “kanan” itu bisa dipersatukan, atau disejajarkan, sungguh mengherankan. “Kiri” dalam arti yang menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik, adalah progresif. Sedangkan “kanan” yang menolak perubahan itu dan menghendaki tetap pada keadaan yang berlaku dan berlangsung, dengan segala perangkat legalnya sekalipun, akan menjadi “konservatif”, dan lambat laun ditinggalkan oleh kesadaran yang dari hari ke hari senantiasa bertambah maju.

Akan halnya orang yang merasa bisa mempersatukan “kiri” dan “kanan” apalagi dengan gagah-gagahan, sungguh patut dikasihani (“kasiaaan deh lu…,” kata ABG zaman sekarang). Sebab yang akan terjadi, kiri dan kanan melangkah bersama, begitu juga tangan kiri dan tangan kanan dua-duanya melonjor ke depan. Jalannya melompat-lompat. Itulah “pocong” namanya.

Yang terjadi sejak ribuan tahun ialah “kanan” digantikan oleh “kiri” dan pada waktu si “kiri” yang menggantikan itu terpeleset menjadi “kanan”, lahirlah “kiri” yang baru.

Kedua-duanya punya eksistensi, perbedaannya ialah yang dominan dan yang belum dominan. Itulah proses kelangsungan. Tanpa itu, Monarki absolut tidak akan digantikan oleh Demokrasi. Tanpa itu, piringan hitam tak akan digantikan pita kaset, dan pita kaset oleh kepingan VCD, lalu maju lagi ke MP3 dan DVD. Kapal layar tak akan digantikan oleh kapal bermesin. Dari yang menuju kematian, lahirlah kehidupan. Itulah adat dunia, siapapun tak kuasa menyanggahnya.

Nyatanya, keberadaan “kiri” bermanfaat untuk kehidupan kita, sebab “kiri” menghendaki yang lebih baik daripada yang sedang berlangsung.

Kelas Pekerja dan World Market System


Kelas Pekerja dan World Market System

Upah rendah, pengganguran, dan PHK yang kian meningkat di Indonesia saat ini pada dasarnya bukan disebabkan oleh sempitnya lapangan kerja atau pertambahan jumlah populasi dari usia produktif, namun karena perubahan kebijakan politik welfare state (Negara Kesejahteraan) menjadi kebijakan politik ekonomi neoliberal sejak dekade 1990an khsususnya. Bentuk-bentuk kebijakan neoliberal ini adalah liberalisasi sektor-sektor publik sehingga menyebabkan PHK massal, pencabutan subsidi, eliminasi pajak dan tariff perdagangan sebagai manifestasi politik ekonomi liberal. Sejak dekade itu sampai saat ini, perjanjian-perjanjian multirateral-bilateral dalam perdagangan bebas terus berlangsung dalam mempercepat proses kebijakan neoliberalisme menurut kebijakan politik dari lembaga-lembaga sentral kapital dunia.

Konsekwensi lanjutan dari neoliberalisme yang berkembang dalam ekonomi nasional adalah disintegrasi pasar-pasar nasional, industri dalam negeri yang tak mampu lagi bersaing dan tak mungkin lagi menekan upah buruh karena sempitnya ruang bertahan hidup industri nasional dalam persaingan produksi dunia. Sebaliknya, integrasi pasar global (world market system) ini telah menyebabkan tidak hanya penekanan upah minimum buruh (upah murah), namun penutupan pabrik-pabrik atau secara bertahap penjualan asset-aset industri nasional (daya-daya produksi) dalam aliran modal internasional.

Sebab akibat ini sebenarnya sudah umum diketahui dan kian disadari kelas pekerja Indonesia. Inilah takdir sejarah kelas pekerja dan masyarakat Indonesia secara umum saat ini karena kontradiksi antara daya-daya produksi (productive forces) dengan relasi-relasi produksi yang baru. Dengan demikian, perkembangan dan kemunduran masyarakat Indonesia sepenuhnya tergantung pada cara mengatasi kontradiksi ini. Apakah dengan perebutan kembali daya-daya produksi yang diliberalisasikan (dijual kepada modal internasional) serta kemandekan beberapa produksi sektor-sektor publik yang tak mampu lagi bertahan dalam kebijakan neoliberal dan menasionalisasikannya, atau menerima dan melaksanakan secepatnya atau secara gradual (reformasi) proses kebijakan politik ekonomi neoliberal?

Saya akan menguraikan sikap dan tindakan yang dilakukan dalam menghadapi situasi ini.

Pertama adalah analisis beberapa kelompok sosialis, yang dimulai dengan menjawab apa basis material pilihan tindakan pertama. Basis material gerakan nasionalisasi itu adalah kelas pekerja dengan upah minimum yang sangat tak sebanding tidak hanya dengan ukuran minimum standar hidup nasional-lokal, namun tidak sebanding dengan upah kelas pekerja di wilayah nasional lain terutama Asia Selatan, serta unsur kelas tambahan yakni kelas menengah progresif, kaum tani dan kelas penggangguran penuh atau musimam. Kelas menengah progresif itu sebenarnya adalah kelas menengah yang terancam posisi ekonominya dalam kebijakan politik ekonomi neoliberal, sementara kaum tani terus mengalami kemerosotan ekonomi yang tajam karena masalah alat-alat produksi tradisional sebab belum ada industrialisasi pertanian nasional sehingga terus disisihkan dalam politik ekonomi neoliberal dan landreform yang terus diabaikan karena tidak sejalan dengan politik ekonomi neoliberal atas pemilikan tanah. Namun bagaimana langkah selanjutnya? Bagaimana membentuk relasi-relasi produksi baru dalam daya-daya produksi lama dengan relasi-relasi produksi internasional yang baru pula? Inilah masalah-masalah yang perlu dijawab selanjutnya.

Kedua adalah analisis dan tindakan kelompok sosialis lain, yang meyakini bahwa situasi ini adalah takdir sejarah kapitalisme global yang mengarah pada world market system (neoliberalisme) sehingga perlu membangun suatu world organized workers secara independen untuk menuju sosialisme internasional. Tindakan ini tentu saja membiarkan proses liberalisasi produksi dan distribusi menuju pasar global karena memang takdir sejarah kapitalisme demikian adanya. Akhirnya kalangan sosialis ini meyakini hanya kelas buruh independen-internasional (bukan lokal-internasional) yang bisa melakukan perlawanan permanen atas imperialisme politik ekonomi ini.

Sementara di pihak yang berlawanan, kebijakan politik ekonomi neoliberal ini telah dilaksanakan pemerintahan nasional di Indonesia yang relatif lebih mampu dari segi material dengan segala syaratnya dalam upaya membangun relasi-relasi produksi baru sesuai dengan tuntutan world market system, dan tentu saja berdasar syarat utama yakni kekuasaan politik ekonomi itu sendiri. Namun kebijakan ini tentu saja menimbulkan banyak benturan dengan rakyat (terutama kelas pekerja, kaum tani, kelas menengah dan dalam beberapa situasi, kaum gelandangan-pengangguran). Perlahan namun pasti pemerintahan nasional telah membawa rakyat Indonesia dalam kebijakan politik ekonomi neoliberal di saat rakyat tak mempunyai syarat yang cukup untuk hidup di dalamnya. Mobilisasi pekerja migran yang sudah terjadi sejak dekade 1970an, tak akan mampu menambal dampak-dampak kausalitas atau sebab akibat dari kebijakan neoliberalisme yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Selain itu, banyak terjadi illegalisasi kaum pekerja migran ini dalam upaya mengeksploitasi tenaga kerja secara semena-mena dan konspiratif dalam hubungan bilateral. Bagaimana pun minornya statistik pekerja migran, namun tetap sebagai unsur kelas pekerja yang penting.

Bagaimana kemudian kelas pekerja menghadapi neoliberalisme ini? Jalan yang sudah, sedang dan akan ditempuh tergantung pada: (i) anasir kelas yang paling dieksploitasi dan tak mempunyai ruang material lain bagi hidupnya kecuali menjual tenaganya dalam world market system, jadi kelas pekerja itu sendiri; (ii) solidaritas terorganisasi di dalam kelas ini sendiri dan kelas-kelas tertindas lainnya dalam lingkup nasional dan internasional; (iii) syarat material dari solidaritas terorganisir ini dalam kondisi sejarahnya sekarang, yakni kuantitas dan tingkat distribusi kesejahteraan dalam world market system yang timpang dan eksploitatif serta semakin tajam dan meluasnya kelas-kelas tertindas lainnya.

Anasir determinan dan relatif ini adalah pemahaman historis bagi jalan kelas pekerja Indonesia dalam menghadapi takdir sejarahnya, atau dalam bahasa revolusioner Prancis, jalan pembebasan dari eksploitasi manusia atas manusia. Jalan ini mungkin sudah cukup dikenal di kalangan sosialis. Tulisan ini hanyalah kontribusi untuk mengingatkan bahwa kelas pekerja adalah inti jalan pembebasan dalam menentang eksploitasi dari suatu kelas, namun kelas pekerja berdiri disini bukan sebagai suatu kelas indenpenden (atau sebagai kelas partikuler yang tak berhubungan dengan kelas tertindas lainnya) sebagaimana diyakini sebagian kelompok sosialis dalam penjelasan diatas. Kelas pekerja musti berdiri di depan dan bersama dengan kelas tertindas lainnya sebagai representasi dari semua kelas tertindas karena kuantitas dan kualitasnya dalam jalan pembebasan itu.

Manifesto Partai Komunis

Manifesto Partai Komunis [1]

Karl Marx dan Friedrich Engels (1848)

Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu Komunisme. Semua kekuasaan di Eropa lama telah menyatukan diri dalam suatu persekutuan keramat untuk mengusir hantu ini: Paus dan Tsar, Metternich [12] & Guizot [13], kaum Radikal Perancis [14] dan mata-mata polisi Jerman.

Di manakah ada partai oposisi yang tidak dicaci sebagai Komunis oleh lawan-lawannya yang sedang berkuasa? Di manakah ada partai oposisi yang tidak melontarkan kembali cap tuduhan Komunisme, baik kepada partai-partai oposisi yang lebih maju maupun kepada lawan-lawannya yang reaksioner?

Dua hal timbul dari kenyataan ini.

I. Komunisme telah diakui oleh semua kekuasaan di Eropa sebagai suatu kekuasaan pula.

II. Telah tiba waktunya bahwa kaum Komunis harus dengan terang-terangan terhadap seluruh dunia menyiarkan pandangan mereka, cita-cita mereka, tujuan mereka, aliran mereka,dan melawan dongengan kanak-kanak tentang Hantu Komunisme ini dengan sebuah manifesto dari partai sendiri.

Untuk maksud ini, kaum Komunis dari berbagai nasionalitet telah berkumpul di London, dan merencanakan manifesto berikut ini untuk diterbitkan dalam bahasa Inggeris, Perancis, Jerman, Italia, Vlam dan Denmark.

I. Kaum Borjuis dan kaum proletar [a]

Sejarah dari semua masyarakat:[b] yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.

Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer [16], tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli [c] dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.

Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan, menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak, dalam Zaman Tengah kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan.

Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.

Tetapi zaman kita, zaman borjuasi, mempunyai sifat yang istimewa ini: ia telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu dengan yang lain - borjuasi dan proletariat.

Dari kaum hamba pada Zaman Tengah timbullah wargakota berhak-penuh dari kota-kota yang paling permulaan. Dari wargakota-wargakota ini berkembanglah anasir-anasir pertama dari borjuasi.

Ditemukannya benua Amerika, dikelilinginya Tanjung Harapan di Afrika Selatan, memberikan lapangan baru bagi borjuasi yang sedang tumbuh, pasar-pasar di Hindia Timur dan Tiongkok, kolonisasi atas Amerika, perdagangan dengan tanah-tanah jajahan, bertambah banyaknya alat penukaran dan barang dagangan pada umumnya, memberikan kepada perdagangan, kepada pelajaran, kepada industri, suatu dorongan yang tak pernah dikenal sebelum itu dan bersamaan dengan itu memberikan kepada anasir-anasir revolusioner dalam masyarakat feodal yang. sedang runtuh itu suatu kemajuan yang cepat.

Sistim industri yang feodal, di mana produksi industri dimonopoli oleh gilda-gilda semata-mata, sekarang tidak lagi mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang makin bertambah dari pasar-pasar baru. Sistim manufaktur [17] menggantikannya. Tukang-tukang-ahli didesak keluar oleh kelas tengah manufaktur; pembagian kerja di antara berbagai gabungan gilda hilang dengan lahirnya pembagian kerja di setiap bengkel pertukangan sendiri-sendiri.

Sementara itu pasar-pasar senantiasa makin meluas, kebutuhan senantiasa bertambah. Sistim manufaktur itupun tak dapat lagi mencukupi. Segera sesudah itu uap dan mesin-mesin merevolusionerkan produksi industri. Kedudukan manufaktur direbut oleh Industri Modern raksasa, kedudukan kelas tengah industri oleh milyuner-milyuner industri, pemimpin-pemimpin kesatuan-kesatuan lengkap dari tentara industri, kaum borjuis modern.

Industri modern telah menciptakan pasar dunia yang telah dibukakan jalannya dengan ditemukannya Amerika. Pasar ini telah memberikan kemajuan maha besar pada perdagangan, pada pelajaran, pada perhubungan di darat. Kemajuan ini, pada gilirannya, bereaksi terhadap meluasnya industri; dan sebanding dengan meluasnya industri, perdagangan, pelajaran, perhubungan kereta api, maka dalam perbandingan yang sama borjuasi pun maju pula, kapitalnya bertambah dan mendesak ke belakang tiap-tiap kelas peninggalan dari Zaman Tengah.

Oleh sebab itu tahulah kita, bagaimana borjuasi modern itu sendiri adalah hasil dari perjalanan perkembangan yang lama, dari suatu rangkaian revolusi-revolusi dalam cara produksi dan cara pertukaran.

Tiap langkah dalam perkembangan borjuasi diikuti oleh suatu kemajuan politik yang sesuai dari kelas itu. Suatu kelas tertindas di bawah kekuasaan bangsawan feodal, suatu perserikatan bersenjata dan memerintah sendiri dalam komune [d] pada Zaman Tengah; di satu tempat berupa republik-kota yang merdeka (seperti di Italia dan Jerman), di lain tempat berupa, "pangkat ketiga" [18] Wajib-pajak dalam monarki (seperti di Perancis), sesudah itu, dalam masa manufaktur yang sebenarnya, dengan mengabdi pada monarki setengah-feodal [19] atau absolut sebagai kekuatan imbangan terhadap kaum bangsawan, dan dalam kenyataannya, batu dasar bagi monarki-monarki besar pada umumnya, maka pada akhirnya borjuasi, sejak berdirinya Industri Modern dan pasar dunia, telah merebut untuk dirinya sendiri segenap kekuasaan politik di dalam Negara konstitusionil modern. Badan eksekutif negara modern hanyalah merupakan sebuah komite untuk mengatur urusan-urusan bersama dari seluruh borjuasi.

Borjuasi, di dalam sejarah, telah memainkan peranan yang sangat revolusioner.

Borjuasi, di mana saja ia telah dapat memperoleh kekuasaan, telah mengakhiri semua hubungan feodal patriarkal pedesaan. Ia dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada "atasannya yang wajar", dan tidak meninggalkan ikatan lain antar manusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata, selain daripada "pembayaran tunai" yang kejam. Ia telah menghanyutkan getaran yang paling suci dari damba keagamaan, dari gairah keksatriaan, dari sentimentalisme filistin, ke dalam air dingin perhitungan egois. Ia telah menjatukan harga diri dengan nilai-tukar, dan sebagai ganti dari kebebasan-kebebasan tak terhitung jumlahnya yang telah disahkan oleh undang-undang yang tak boleh dibatalkan itu, ia telah menetapkan satu-satunya kebebasan yang tidak berdasarkan akal - Perdagangan Bebas. Pendek kata, penghisapan yang diselimuti dengan ilusi-ilusi keagamaan dan politik digantikan olehnya dengan penghisapan yang terang-terangan, tak kenal malu, langsung, ganas.

Borjuasi telah menanggalkan anggapan mulia terhadap setiap jabatan yang selama ini dihormati dan dipuja dengan penuh ketaatan. Ia telah mengubah dokter, advokat, pendeta, penyair, sarjana menjadi buruh-upahannya yang dia bayar.

Borjuasi telah merobek dengan kekerasan selubung perasaan kekeluargaan, dan telah memerosotkannya menjadi hubungan-uang belaka.

Borjuasi telah menyingkapkan bagaimana dapat terjadinya hal bahwa pertunjukan kekuatan secara kasar dalam Zaman Tengah, yang begitu dikagumi oleh kaum reaksioner itu, mendapatkan imbangannya yang wajar dan cocok berwujud kemalasan yang paling lamban. Dialah yang pertama-tama memperlihatkan apa yang dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia. Ia telah melahirkan keajaiban-keajaiban yang jauh melampaui piramida-piramida Mesir, saluran-saluran air Roma dan katedral-katedral Gotik; ia telah melakukan ekspedisi-ekspedisi yang sangat berlainan dibanding dengan perpindahan-perpindahan bangsa-bangsa [20] serta perang-perang salib [21] di masa dahulu.

Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat. Sebaliknya, mempertahankan cara-cara produksi yang lama dalam bentuknya yang tidak berubah adalah syarat pertama untuk hidup bagi segala kelas industri yang terdahulu. Senantiasa merevolusionerkan produksi, kekacauan tiada putus-putusnya dalam segala syarat.sosial, ketiadaan kepastian serta kegelisahan yang abadi itu membedakan zaman borjuasi dengan semua zaman yang terdahulu. Segala hubungan yang telah ditetapkan dan beku serta berkarat, dengan rentetannya berupa prasangka-prasangka serta pendapat-pendapat kuno yang disegani, disapu bersih, segala yang dibentuk baru menjadi usang sebelum membatu. Segala yang padat hilang larut dalam udara, segala yang suci dinodai, dan pada akhirnya manusia terpaksa menghadapi dengan hati yang tenang syarat-syarat hidupnya yang sebenarnya, dan hubungan-hubungannya dengan sesamanya.

Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.

Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali karena borjuasi telah menarik dari bawah kaki industri bumi nasional tempat ia berdiri.

Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri, kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya. Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-tergantung yang universal di antara nasion-nasion. Dan seperti halnya dengan produksi material, demikian jugalah keadaannya dalam hal produksi intelek. Ciptaan-ciptaan intelek dari satu-satu nasion menjadi milik bersama. Kesepihakan serta kesempitan pandangan nasional menjadi makin tidak mungkin, dan dari sejumlah besar literatur nasional dan lokal timbullah suatu literatur dunia.

Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion, sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban. Harga-harga murah dari barang dagangannya merupakan artileri berat yang dengannya ia memporak-porandakan segala tembok-tembok Tiongkok, yang dengannya ia menaklukkan kebencian berkepala batu dari kaum biadab terhadap orang-orang asing. Ia memaksa semua nasion, dengan ancaman akan musnah, cara produksi borjuis; ia memaksa mereka mengemukakan apa yang olehnya disebut peradaban itu ke tengah-tengah lingkungan mereka, yaitu, supaya mereka sendiri menjadi borjuis. Pendek kata, ia menciptakan suatu dunia menurut bayangannya sendiri.

Borjuasi menundukkan desa kepada kekuasaan kota. Ia telah menciptakan kota-kota yang hebat, telah sangat menambah penduduk kota dibanding dengan penduduk desa, dan dengan demikian telah melepaskan sebagian besar penduduk dari kedunguan kehidupan desa. Sebagaimana halnya ia telah menjadikan desa bergantung kepada kota, begitupun ia telah menjadikan negeri biadab dan setengah-biadab bergantung kepada negeri yang beradab, nasion kaum tani kepada nasion kaum borjuis, Timur kepada Barat.

Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah seharusnya dari hal ini adalah pemusatan politik. Propinsi-propinsi yang merdeka atau yang mempunyai hubungan tak begitu erat dengan kepentingan-kepentingan undang-undang pemerintah dan sistim pajak yang berlain-lainan menjadi terpadu sebagai satu nasion dengan satu pemerintah, satu tata undang-undang, satu kepentingan-kelas nasional, satu perbatasan dan satu tarif pabean.

Borjuasi, selama kekuasaannya yang belum genap seratus tahun itu, telah menciptakan tenaga-tenaga produktif yang lebih teguh dan lebih besar daripada yang telah diciptakan oleh generasi-generasi yang terdahulu dijadikan satu. Ditundukkannya kekuatan-kekuatan alam kepada manusia, mesin-mesin, pelajaran kapal api, pengenaan ilmu kimia pada industri dan pertanian, jalan kereta api, pembukaan benua-benua utuh untuk tanah garapan, telegrafi listrik, penyaluran sungai sejumlah sangat besar penduduk yang dengan kekuatan sihir dikeluarkan dari dalam tanah - abad terdahulu manakah yang dapat menduga adanya tenaga-tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan kerja masyarakat?

Jadi tahulah kita: alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran, yang di atas dasarnya borjuasi berkembang, telah ditimbulkan di dalam masyarakat feodal. Pada suatu tingkat tertentu dalam perkembangan alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran ini, syarat-syarat tempat masyarakat feodal menghasilkan dan mengadakan pertukaran, organisasi feodal dari pertanian dan industri manufaktur, pendek kata, hubungan-hubungan feodal dari milik menjadi tidak lagi dapat disesuaikan dengan tenaga-tenaga produktif yang sudah berkembang; mereka merupakan belenggu-belenggu yang begitu banyak; mereka harus dipatahkan, mereka memang dipatahkan.

Sebagai gantinya datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselaraskan dengannya, dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis.

Suatu gerakan yang serupa sedang berlangsung di hadapan mata kepala kita sendiri. Masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya. Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik. Di dalam krisis-krisis ini berjangkitlah wabah yang di dalam zaman-zaman terdahulu akan merupakan suatu kejanggalan - wabah produksi kelebihan. Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali dalam suatu keadaan kebiadaban sementara; nampaknya seakan-akan suatu kelaparan, suatu perang pembinasaan umum telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat milik borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera setelah mereka mengatasi rintangan belenggu-belenggu ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh masyarakat borjuis, membahayakan adanya milik borjuis. Syarat-syarat masyarakat borjuis adalah terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.

Senjata-senjata yang digunakan oleh borjuasi untuk menumbangkan feodalisme sekarang berbalik kepada borjuasi itu sendiri.

Tetapi tidak saja borjuasi itu menempa senjata-senjata yang mendatangkan mautnya sendiri; ia juga telah melahirkan manusia-manusia yang akan menggunakan senjata-senjata itu - kelas buruh modern - kaum proletar.

Dibandingkan dengan berkembangnya borjuasi, artinya, kapital, maka dalam derajat yang itu juga proletariat, kelas buruh modern, telah berkembang - suatu kelas kaum pekerja yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka memperbesar kapital. Kaum pekerja ini yang harus menjual dirinya sepotong-sepotong, adalah suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, dan karenanya diserahkan mentah-mentah kepada segala perubahan dalam persaingan, kepada segala perguncangan pasar.

Disebabkan oleh pemakaian mesin-mesin secara luas dan karena pembagian kerja, hilanglah segala sifat perseorangan dari pekerjaan kaum proletar, dan karena itu hilanglah segala kegairahan bagi si buruh. Ia semata-mata menjadi lampiran-tambahan dari mesin dan hanyalah kecakapan yang paling sederhana, paling menjemukan dan paling mudah didapat, yang dibutuhkan dari dia. Dari itu, biaya produksi dari seorang buruh terbatas hampir semata-mata pada bahan-bahan keperluan hidup yang diperlukan untuk hidupnya dan untuk pembiakan jenisnya. Tetapi harga sesuatu barang dagangan, dan oleh sebab itu juga harga kerja, [22] adalah sama dengan biaya produksinya. Oleh sebab itu sederajat dengan makin tidak menyenangkannya kerja itu, maka turunlah upahnya. Bahkan lebih dari itu, dalam derajat sebagaimana pemakaian mesin-mesin dan pembagian kerja bertambah, dalam derajat yang itu juga beban kerja bertambah, baik dengan memperpanjang jam kerja, dengan menambah banyaknya pekerjaan dalam waktu yang tertentu atau dengan mempertinggi kecepatan mesin-mesin, dsb.

Industri modern telah mengubah bengkel kecil kepunyaan majikan patriarkal menjadi pabrik besar kepunyaan kapitalis industri. Massa kaum buruh yang dikumpulkan dalam pabrik diorganisasi seperti serdadu. Sebagai serdadu biasa dari tentara industri mereka diatur di bawah perintah suatu susunan-kepangkatan yang rapi terdiri dari opsir-opsir dan sersan-sersan. Mereka itu tidak hanya menjadi budak kelas borjuis dan budak negara borjuis saja; mereka itu setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama sekali oleh tuan pabrik borjuis orang-seorang itu sendiri. Semakin terang-terangan kelaliman ini menyatakan keuntungan sebagai tujuan dan maksudnya, semakin keji, semakin membencikan dan semakin memarahkanlah dia itu.

Semakin kurang kecakapan dan kurang pemakaian kekuatan yang diperlukan dalam kerja badan, dengan kata-kata lain, semakin industri modern menjadi sempurna, semakin banyak kerja kaum pria yang digantikan oleh kerja kaum wanita. Perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin tidak lagi mempunyai sesuatu arti kemasyarakatan yang penting bagi kelas buruh. Semuanya adalah perkakas kerja, kurang atau lebih mahalnya untuk dipakai, bergantung pada umur dan jenis kelamin mereka.

Jika penghisapan atas pekerja oleh pengusaha sudah sampai sedemikian jauhnya sehingga ia menerima upahnya dengan tunai, maka diterkamlah ia oleh bagian-bagian lain dari borjuasi, tuan tanah, tuan toko, pemilik pegadaian, dsb.

Lapisan rendahan dari kelas tengah - kaum pengusaha kecil, tuan toko dan tukang riba [23] umumnya, kaum pekerja-tangan dan kaum tani - semua ini berangsur-angsur jatuh menjadi proletariat, sebagian oleh karena kapitalnya yang kecil tidak cukup untuk menjalankan industri besar dan menderita kekalahan dalam persaingan dengan kaum kapitalis besar, sebagian oleh karena keahlian mereka menjadi tidak berharga untuk cara-cara produksi yang baru. Begitulah proletariat terjadi dari segala kelas penduduk.

Proletariat melalui berbagai tingkat perkembangan. Bersamaan dengan lahirnya, mulailah perjuangannya terhadap borjuasi. Mula-mula perjuangan itu dilakukan oleh kaum buruh orang-seorang, kemudian oleh buruh suatu pabrik, kemudian oleh buruh dari satu macam perusahaan di satu tempat melawan borjuis orang-seorang yang langsung menghisap mereka. Mereka tidak mengerahkan serangan-serangannya terhadap syarat-syarat produksi borjuis, tetapi terhadap perkakas-perkakas produksi itu sendiri; mereka merusakkan barang-barang impor yang menyaingi kerja mereka, mereka menghancurkan mesin-mesin, mereka membakar pabrik-pabrik, mereka mencoba mengembalikan dengan paksa kedudukan pekerja dari Zaman Tengah [24] yang telah hilang itu.

Pada tingkat tersebut kaum buruh merupakan suatu massa yang lepas tersebar di seluruh negeri dan terpecah belah oleh persaingan di kalangan mereka sendiri. Jika di sesuatu tempat mereka bersatu membentuk badan-badan yang lebih erat terhimpun, ini belumlah akibat dari persatuan yang aktif dari mereka sendiri, tetapi dari persatuan borjuasi, kelas yang untuk mencapai tujuan politiknya sendiri terpaksa menggerakkan seluruh proletariat, tambahan pula karena untuk sementara waktu mereka masih dapat berbuat demikian. Oleh karena itu, pada tingkat tersebut kaum proletar tidak melawan musuh-musuhnya, tetapi musuh-musuh dari musuh mereka, yaitu sisa-sisa monarki absolut, kaum pemilik tanah, borjuis bukan-industri, borjuasi kecil. Dengan demikian seluruh gerakan yang bersejarah itu berpusat di dalam tangan borjuasi; tiap-tiap kemenangan yang dicapai dengan cara demikian adalah kemenangan bagi borjuasi.

Tetapi dengan berkembangnya industri, proletariat tidak saja bertambah jumlahnya; ia menjadi terkonsentrasi di dalam massa yang lebih besar, kekuatannya bertambah besar dan ia semakin merasakan kekuatan itu. Kepentingan-kepentingan dan syarat-syarat hidup yang bermacam ragam di dalam barisan proletariat semakin lama semakin menjadi sama, sederajat dengan dihapuskannya segala perbedaan kerja oleh mesin-mesin dan dengan diturunkannya upah hampir di mana-mana sampai pada tingkat yang sama rendahnya. Persaingan yang semakin menjadi di kalangan kaum borjuis dan krisis-krisis perdagangan yang diakibatkannya, menyebabkan upah kaum buruh senantiasa berguncang. Perbaikan mesin-mesin yang tidak henti-hentinya itu senantiasa berkembang dengan lebih cepat, menyebabkan penghidupan mereka makin lama makin tidak tentu; bentrokan-bentrokan antara buruh orang-seorang dengan borjuis orang-seorang makin lama makin bersifat bentrokan-bentrokan antara dua kelas. Sesudah itu kaum buruh mulai membentuk perkumpulan-perkumpulan menentang kaum borjuis; mereka berhimpun untuk mempertahankan upah-kerja mereka; mereka mendirikan perserikatan-perserikatan yang tetap untuk mempersiapkan diri guna perlawanan yang sewaktu-waktu ini. Di sana-sini perjuangan itu meletus menjadi huru-hara.

Kadang-kadang kaum buruh memperoleh kemenangan, tetapi hanya untuk sementara waktu. Buah yang sebenarnya dari perjuangan mereka tidak terletak pada hasil yang langsung, tetapi pada senantiasa makin meluasnya persatuan kaum buruh. Persatuan ini dibantu terus oleh kemajuan-kemajuan alat-alat perhubungan yang dibuat oleh industri modern dan yang membawa kaum buruh dari berbagai daerah berhubungan satu dengan yang lain. Justru perhubungan inilah yang diperlukan untuk memusatkan perjuangan-perjuangan lokal yang banyak itu, yang kesemuanya mempunyai sifat yang sama, menjadi satu perjuangan nasional antara kelas-kelas. Tetapi tiap perjuangan kelas adalah suatu perjuangan politik. Dan persatuan ini, yang untuk mencapainya, wargakota pada Zaman Tengah dengan jalan-jalan mereka yang sangat buruk memerlukan waktu yang berabad-abad lamanya, berkat adanya jalan-jalan kereta api, dicapai oleh kaum proletar modern dalam beberapa tahun saja.

Terorganisasinya kaum proletar menjadi kelas ini, dan dengan sendirinya menjadi partai politik, senantiasa dirusak kembali oleh persaingan di antara kaum buruh sendiri. Tetapi ia selalu bangun kembali, lebih kuat, lebih teguh, lebih perkasa. la memaksakan pengakuan berdasarkan undang-udang atas kepentingan-kepentingan tertentu dari kaum buruh dengan jalan menggunakan perpecahan di dalam kalangan borjuasi sendiri. Maka lahirlah undang-undang sepuluh-jam di Inggris.

Kesimpulannya ialah bahwa bentrokan-bentrokan antara kelas-kelas di dalam masyarakat lama, dengan berbagai cara, mendorong maju perkembangan proletariat. Borjuasi terlibat dalam perjuangan yang terus-menerus. Mula-mula dengan aristokrasi; kemudian dengan bagian-bagian dari borjuasi itu sendiri yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan kemajuan industri; dan selamanya dengan borjuasi negeri-negeri asing semuanya. Di dalam segala perjuangan ini ia merasa terpaksa berseru kepada proletariat, meminta bantuannya, dan dengan begitu menarik proletariat ke dalam gelanggang politik. Oleh karena itu, borjuasi itu sendiri membekali proletariat dengan anasir-anasir politik dan pendidikan-umumnya sendiri, dengan perkataan lain, ia melengkapi proletariat itu dengan senjata-senjata untuk melawan borjuasi.

Selanjutnya, sebagaimana yang telah kita ketahui, golongan-golongan keseluruhan dari kelas yang berkuasa, dengan majunja industri, tercampak ke dalam proletariat, atau setidak-tidaknya terancam di dalam syarat-syarat mereka untuk hidup. Hal ini juga memberikan kepada proletariat anasir-anasir kesadaran dan kemajuan yang segar.

Akhirnya, dalam waktu ketika perjuangan kelas mendekati saat yang menentukan, proses kehancuran yang berlaku di dalam kelas yang berkuasa, pada hakekatnya di dalam seluruh masyarakat lama seutuhnya, mencapai watak yang demikian keras dan tegasnya, sehingga segolongan kecil dari kelas yang berkuasa memutuskan hubungannya dan menyatukan diri dengan kelas yang revolusioner, kelas yang memegang hari depan di dalam tangannya. Oleh karena itu, sama seperti ketika zaman terdahulu, segolongan dari kaum bangsawan memihak kepada borjuasi, maka sekarang segolongan dari borjuasi memihak kepada proletariat, dan terutama segolongan dari kaum ideologis borjuis yang telah mengangkat dirinya sampai pada taraf memahami secara teori gerakan yang bersejarah itu sebagai keseluruhan.

Dari semua kelas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya kelas yang betul-betul revolusioner. Kelas-kelas lainnya melapuk dan akhimya lenyap ditelan industri besar, hanya proletariatlah yang menjadi hasilnya yang istimewa dan yang hakiki.

Kelas tengah rendahan, tuan pabrik kecil, tuan toko, tukang, petani, semuanya ini, berjuang melawan borjuasi, untuk menyelamatkan hidup mereka sebagai golongan dari kelas tengah hindar dari kemusnahan. Oleh karena itu mereka tidak revolusioner, tetapi konservatif. Bahkan lebih dari itu, mereka itu reaksioner, karena mereka mencoba memutar kembali roda sejarah. Jika secara kebetulan mereka itu revolusioner, maka mereka berlaku demikian itu hanyalah karena melihat akan bahaya mendekat berupa kepindahan mereka ke dalam proletariat, jadi mereka tidak membela kepentingan-kepentingannya yang sekarang, tetapi kepentingan-kepentingannya di masa datang, mereka meninggalkan pendiriannya sendiri untuk menempatkan dirinya pada pendirian proletariat.

Proletariat-gelandangan [25], massa yang membusuk secara pasif dari kalangan lapisan-lapisan terendah masyarakat lama, di sana-sini terseret ke dalam gerakan oleh suatu revolusi proletar; akan tetapi syarat-syarat hidupnya, menjadikan dia lebih condong untuk melakukan peranan sebagai perkakas yang disuap untuk mengadakan huru-hara reaksioner.

Syarat-syarat hidup masyarakat lama sudah dihancurkan di dalam syarat-syarat hidup proletariat. Proletar tidak mempunyai milik; hubungannya dengan isteri dan anak tidak ada lagi persamaannya dengan hubungan keluarga borjuasi; kerja industri modern, penundukan modern di bawah kapital, yang sama saja baik di Inggris maupun di Perancis, di Amerika maupun di Jerman, telah menghilangkan segala bekas watak nasional daripadanya. Undang-undang moral, agama, baginya adalah sama dengan segala prasangka borjuis, yang di belakangnya bersembunyi segala macam kepentingan-kepentingan borjuis.

Semua kelas terdahulu yang memperoleh kekuasaan, berusaha memperkuat kedudukan yang telah diperolehnya dengan menundukkan masyarakat dalam keseluruhannya kepada syarat-syarat pemilikan mereka. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat, kecuali dengan menghapuskan cara pemilikan mereka sendiri yang terdahulu atas tenaga-tenaga produktif, dan dengan begitu menghapuskan juga segala cara pemilikan lain yang terdahulu. Mereka tidak mempunyai sesuatu pun yang harus dilindungi dan dipertahankan, tugas mereka ialah menghancurkan segala perlindungan dan jaminan yang terdahulu atas milik perseorangan.

Semua gerakan sejarah yang terdahulu adalah gerakan dari minoritet-minoritet, atau untuk kepentingan minoritet-minoritet. Gerakan proletar adalah gerakan yang sadar-diri dan berdiri sendiri dari mayoritet yang melimpah, untuk kepentingan mayoritet yang melimpah. Proletariat, lapisan yang paling rendah dari masyarakat kita sekarang, tidak dapat bergerak, tidak dapat mengangkat dirinya ke atas, tanpa hancur luluhnya seluruh lapisan atas dari masyarakat yang resmi.

Walaupun tidak dalam isinya tetapi dalam bentuknya, perjuangan proletariat dengan borjuasi adalah mula-mula suatu perjuangan nasional. Proletariat di masing-masing negeri tentu saja pertama-tama harus membuat perhitungan dengan borjuasinya sendiri.

Dalam melukiskan fase-fase yang paling umum dari perkembangan proletariat, kita turuti jejak peperangan dalam negeri, yang lebih atau kurang tersembunyi yang bergolak di dalam masyarakat yang ada, sampai pada titik di mana peperangan itu meletus menjadi revolusi terang-terangan, dan di mana penggulingan borjuasi dengan kekerasan meletakkan landasan bagi kekuasaan proletariat.

Hingga kini, sebagaimana yang telah kita ketahui, segala bentuk masyarakat telah didasarkan atas antagonisme antara kelas-kelas yang menindas dengan kelas-kelas yang tertindas. Tetapi untuk dapat menindas suatu kelas, haruslah dijamin syarat-syarat tertentu untuknya di mana ia setidak-tidaknya dapat melanjutkan hidupnya sebagai budak. Si hamba, dalam zaman perhambaan, meningkatkan dirinya menjadi anggota komune, seperti juga halnya dengan si borjuis kecil, di bawah tindakan absolutisme feodal, mengembangkan dirinya menjadi borjuis. Sebaliknya, buruh modern bukannya terangkat naik dengan adanya kemajuan industri, tetapi bahkan senantiasa makin jatuh merosot di bawah syarat-syarat hidup kelasnya sendiri. Ia menjadi orang melarat dan kemelaratan berkembang lebih cepat daripada penduduk dan kekayaan. Dan di sinilah menjadi terang, bahwa borjuasi tidak pada tempatnya lagi untuk menjadi kelas yang berkuasa di dalam masyarakat, dan tidak mampu lagi untuk memaksakan syarat-syarat hidupnya kepada masyarakat sebagai undang-undang yang menentukan. Ia tidak cakap memerintah karena ia tidak mampu menjamin penghidupan bagi budaknya di dalam rangka perbudakannya itu, karena ia terpaksa membiarkan budaknya tenggelam ke dalam keadaan yang sedemikian rupa sehingga ia harus memberi makan kepada budaknya, dan bukannya ia diberi makan oleh budaknya. Masyarakat tidak dapat lagi hidup di bawah borjuasi ini, dengan perkataan lain, adanya borjuasi tidak dapat didamaikan lagi dengan masyarakat.

Syarat terpokok untuk hidupnya, dan berkuasanya kelas borjuis, adalah terbentuknya dan bertambah besarnya kapital; syarat untuk kapital ialah kerja-upahan. Kerja-upahan semata-mata bersandar pada persaingan di antara kaum buruh sendiri. Kemajuan industri, yang pendorongnya dengan tak sengaja adalah borjuasi, menggantikan terpencilnya kaum buruh, yang disebabkan oleh persaingan, dengan tergabungnya mereka secara revolusioner, yang diperoleh karena perserikatan. Perkembangan industri besar, karenanya, merenggut dari bawah kaki borjuasi landasan itu sendiri yang di atasnya borjuasi menghasilkan dan memiliki hasil-hasil. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh borjuasi ialah, terutama sekali, penggali-penggali liang kuburnya sendiri. Keruntuhan borjuasi dan kemenangan proletariat adalah sama-sama tidak dapat dielakkan lagi.

II. Kaum proletar dan kaum Komunis

Bagaimanakah hubungan antara kaum Komunis dengan kaum proletar umumnya ?

Kaum Komunis tidak merupakan suatu partai tersendiri yang bertentangan dengan partai-partai kelas buruh lainnya.

Mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan tersendiri dan terpisah dari kepentingan-kepentingan proletariat sebagai keseluruhan.

Mereka tidak mengadakan prinsip-prinsip sendiri yang sektaris, yang hendak dijadikan pola bagi gerakan proletar.

Kaum Komunis dibandingkan dengan partai-partai kelas buruh lainnya berbeda hanyalah karena hal ini:
1. Di dalam perjuangan nasional dari kaum proletar di berbagai negeri, mereka menunjukkan serta mengedepankan kepentingan-kepentingan bersama dari seluruh proletariat, terlepas dari segala nasionalitet.
2. Pada berbagai tingkat perkembangan yang harus dilalui oleh perjuangan kelas buruh melawan borjuasi, mereka senantiasa dan di mana saja mewakili kepentingan-kepentingan gerakan itu sebagai keseluruhan.

Oleh sebab itu kaum Komunis, pada satu pihak, pada prakteknya adalah bagian yang paling maju dan teguh hati dari partai-partai kelas buruh di setiap negeri, bagian yang mendorong maju semua bagian lain-lainnya; pada pihak lain, secara teori mereka mempunyai kelebihan atas massa proletariat yang besar itu dalam pengertian tentang garis perjalanan, syarat-syarat, dan hasil-hasil umum terakhir dari gerakan proletar.

Tujuan terdekat dari kaum Komunis adalah sama dengan tujuan semua partai proletar lain-lainnya: pembentukan proletariat menjadi suatu kelas, penggulingan kekuasaan borjuasi, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat.

Kesimpulan-kesimpulan secara teori dari kaum Komunis sama sekali bukanlah berdasar pada pikiran-pikiran atau prinsip-prinsip yang telah diciptakan, atau yang ditemukan oleh salah seorang pembaharu-dunia.

Kesimpulan-kesimpulan itu hanya menyatakan semata-mata, secara umum, hubungan-hubungan yang sebenarnya yang timbul dari suatu perjuangan kelas yang sedang berlaku, dari suatu gerakan sejarah yang sedang berjalan di depan mata kita. Penghapusan hubungan-hubungan milik yang ada sekarang sama sekali bukanlah suatu ciri yang istimewa dari Komunisme.

Segala hubungan milik di masa lampau senantiasa tunduk pada perubahan kesejarahan yang diakibatkan oleh perubahan syarat-syarat sejarah.

Revolusi Perancis misalnya, menghapuskan milik feodal untuk memberi tempat kepada milik borjuis. [26]

Ciri istimewa Komunisme - bukanlah penghapusan milik pada umumnya, tetapi penghapusan milik borjuis. Tetapi milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan terakhir dan paling sempurna dari sistim menghasilkan dan memiliki hasil-hasil yang didasarkan pada antagonisme-antagonisme kelas, pada penghisapan terhadap yang banyak oleh yang sedikit.

Dalam artian ini, teori kaum Komunis dapatlah diikhtisarkan dalam satu kalimat saja: Penghapusan milik perseorangan.

Kita kaum Komunis telah dimaki bahwa kita ingin menghapuskan hak atas milik yang diperdapat seseorang sebagai hasil kerja orang itu sendiri, milik yang dianggap sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan dan kebebasan seseorang.

Milik yang diperoleh dengan membanting tulang, yang direbut sendiri, yang dicari sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan itu milik si tukang kecil, milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang mendahului bentuk milik borjuis ? Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.

Ataukah yang tuan maksudkan itu milik perseorangan borjuis modern?

Tetapi adakah kerja-upahan, kerja si proletar, mendatangkan sesuatu milik untuk dia? Sama sekali tidak. Ia menciptakan kapital, yaitu semacam milik yang menghisap kerja-upahan, dan yang tidak dapat bertambah besar kecuali dengan syarat bahwa ia menghasilkan kerja-upahan baru untuk penghisapan baru. Milik dalam bentuknya yang sekarang ini adalah didasarkan pada antagonisme antara kapital dengan kerja-upahan. Marilah kita periksa kedua belah segi dari antagonisme ini.

Untuk menjadi seorang kapitalis, orang tidak saja harus mempunjai kedudukan perseorangan semata-mata, tetapi kedudukan sosial dalam produksi. Kapital adalah suatu hasil kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkatan terakhir, ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat.

Oleh karena itu kapital bukanlah suatu kekuasaan pribadi, ia adalah suatu kekuasaan sosial.

Jadi, jika kapital itu dijadikan milik bersama, menjadi milik semua anggota masyarakat, dengan itu milik pribadi tidak diubah menjadi milik sosial. Hanyalah watak sosial milik yang diubah. Watak kelasnya hilang.

Marilah kita sekarang bicara tentang kerja-upahan.

Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang sekedarnya itu. Kita sekali-kali tidak bermaksud untuk menghapuskan pemilikan pribadi atas hasil-hasil kerja ini, pemilikan yang digunakan untuk mempertahankan dan melanjutkan lagi hidup biasa sebagai Manusia, dan yang tidak menyisakan kelebihan yang dapat digunakan untuk menguasai kerja orang-orang lain. Yang hendak kita hapuskan hanyalah watak celaka dari pemilikan ini, di mana buruh hidup hanya untuk memperbesar kapital belaka, dan dibolehkan hidup hanya selama kepentingan kelas yang berkuasa memerlukannya.

Di dalam masyarakat borjuis, kerja yang hidup ini hanyalah suatu alat untuk memperbanyak kerja yang telah tertimbun. Di dalam masyarakat Komunis, kerja yang tertimbun itu hanyalah suatu alat untuk memperluas, memperkaya, memajukan kehidupan buruh.

Di dalam masyarakat borjuis, karenanya, masa lampau menguasai masa kini; di dalam masyarakat Komunis, masa kini menguasai masa lampau. Di dalam masyarakat borjuis, kapital adalah bebas merdeka dan mempunyai kepribadian, sedang manusia yang bekerja tidak bebas dan tidak mempunyai kepribadian.

Dan penghapusan keadaan begini ini dikatakan oleh kaum borjuis, penghapusan kepribadian dan kemerdekaan! Dan memang begitu. Penghapusan kepribadian borjuis, penghapusan kebebasan borjuis dan kemerdekaan borjuis itulah yang memang dituju.

Dengan kemerdekaan diartikan, di bawah syarat-syarat produksi borjuis sekarang ini, perdagangan bebas, penjualan dan pembelian bebas.

Tetapi jika penjualan dan pembelian itu lenyap, penjualan dan pembelian bebas itupun lenyap juga.

Obrolan tentang penjualan dan pembelian bebas ini, dan segala "kata-kata gagah" lainnya dari borjuasi mengenai kemerdekaan pada umumnya, mempunyai arti, jika ada, hanya jika dibandingkan dengan penjualan dan pembelian terbatas, dengan pedagang-pedagang terbelenggu dari Zaman Tengah, tetapi tidak mempunyai arti jika dipertentangkan dengan penghapusan secara Komunis atas penjualan dan pembelian, atas cara produksi borjuis, dan atas borjuasi itu sendiri.

Tuan merasa ngeri karena maksud kami untuk menghapuskan milik perseorangan. Tetapi di dalam rnasyarakat tuan yang ada sekarang ini, milik perseorangan sudah dihapuskan bagi sembilan persepuluh dari penduduk; ia ada pada beberapa orang justru karena ia tidak ada pada mereka yang sembilan persepuluh itu. Jadi tuan memaki kami karena kami bermaksud menghapuskan suatu bentuk milik, yang untuk adanya diperlukan syarat berupa tidak adanya suatu milik apa pun bagi mayoritet melimpah dari masyarakat.

Pendek kata, tuan memaki kami bahwa kami bermaksud menghapuskan milik tuan. Memang begitu, itulah justru yang kami maksudkan.

Sejak dari saat ketika kerja tidak lagi dapat dijadikan kapital, uang, atau sewa, [27] dijadikan suatu kekuasaan sosial yang dapat dimonopolisasi, artinya, sejak dari saat ketika milik pribadi tidak dapat lagi dijadikan milik borjuis, dijadikan kapital, sejak dari saat itu, tuan katakan, kepribadian telah hilang.

Maka itu tuan harus mengakui bahwa yang tuan maksudkan dengan pribadi adalah tidak lain daripada seorang borjuis, seorang pemilik borjuis. Orang ini memang harus disapu bersih dan tidak diberi kemungkinan untuk hidup.

Komunisme tidak menghapuskan kekuasaan seseorang untuk memiliki hasil-hasil masyarakat; apa yang dilakukannya hanyalah merampas kekuasaan seseorang untuk menjadikan kerja orang lain takluk kepadanya dengan cara pemilikan semacam itu.

Orang telah mengemukakan keberatan bahwa dengan penghapusan milik perseorangan akan berhentilah semua pekerjaan, dan kemalasan umum akan merajalela.

Menurut pendapat ini, masyarakat borjuis tentunya sudah lama lenyap karena kemalasan semata-mata; karena mereka dari anggota-anggotanya yang bekerja, tidak mendapat apa-apa, dan mereka yang mendapat sesuatu, tidak bekerja. Seluruh keberatan ini hanyalah ungkapan lain dari kata-kata yang sama artinya: tak ada lagi kerja-upahan apabila tak ada lagi kapital.

Semua keberatan yang dikemukakan terhadap cara menghasilkan dan memiliki hasil-hasil material secara Komunis telah dikemukakan juga terhadap cara menghasilkan dan memiliki hasil-hasil intelek secara Komunis. Justru karena bagi kaum borjuis itu, lenyapnya milik kelas berarti lenyapnya produksi itu sendiri, maka lenyapnya kebudayaan kelas baginya berarti juga lenyapnya semua kebudayaan.

Kebudayaan itu, yang hilangnya sangat ditangisi olehnya, bagi golongan terbanyak yang melimpah hanyalah berarti bahwa mereka itu dijadikan mesin.

Tetapi janganlah ribut bertengkar dengan kami selama terhadap penghapusan milik borjuis yang kami maksudkan itu tuan mengenakan ukuran anggapan-anggapan borjuis tuan tentang kemerdekaan, kebudayaan, hukum, dsb. Pikiran-pikiran tuan itu justru adalah tidak lain daripada buah yang dihasilkan oleh syarat-syarat produksi borjuis dan milik borjuis tuan, tepat seperti halnya dengan ilmu hukum tuan adalah tidak lain daripada kemauan kelas tuan yang dijadikan undang-undang untuk semua, suatu kemauan, yang tujuan serta wataknya yang hakiki ditentukan oleh syarat-syarat hidup ekonomi kelas tuan.

Anggapan egoistis yang menyebabkan tuan mengubah bentuk-bentuk sosial yang timbul, dari cara produksi dan bentuk milik tuan sekarang ini--hubungan-hubungan kesejarahan yang timbul dan lenyap selama gerak maju produksi--menjadi hukum alam dan hukum akal yang abadi, anggapan ini sama dengan anggapan semua kelas berkuasa yang telah mendahului tuan. Apa yang sudah jelas tuan ketahui tentang milik kuno [28], apa yang sudah tuan akui tentang milik feodal, tentu saja akan terlarang bagi tuan untuk mengakui tentang bentuk milik borjuis tuan sendiri.

Penghapusan keluarga! Orang yang paling radikal pun akan naik darah karena maksud keji kaum Komunis ini.

Didasarkan atas landasan apakah keluarga sekarang, keluarga borjuis itu? Atas kapital, atas hasil pendapatan perseorangan. Dalam bentuknya yang berkembang sempurna keluarga semacam ini terdapat hanya di kalangan borjuasi saja. Tetapi keadaan ini mempunyai pelengkapnya berupa ketiadaan keluarga yang terpaksa di kalangan kaum proletar, dan berupa pelacuran umum.

Keluarga borjuis akan lenyap dengan sendirinya apabila pelengkapnya lenyap, dan kedua-duanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya kapital.

Apakah tuan menuduh kami hendak menghentikan penghisapan anak-anak oleh orang tuanya? Kami mengakui kejahatan ini.

Tetapi, tuan akan berkata, kami menghancurkan hubungan-hubungan yang paling mesra, karena kami mengganti pendidikan rumah dengan pendidikan sosial.

Dan apakah pendidikan tuan tidak juga ditentukan oleh masyarakat? Oleh hubungan-hubungan sosial, yang di bawah syarat-syaratnya tuan mendidik, oleh campur tangan langsung, atau tidak langsung dari masyarakat dengan perantaraan sekolah-sekolah, dsb.? Kaum Komunis tidak menciptakan campur tangan masyarakat dalam pendidikan; mereka hanya berusaha untuk mengubah watak campur tangan itu, dan untuk menyelamatkan pendidikan agar hindar dari pengaruh kelas yang berkuasa.

Obrolan borjuis tentang keluarga dan pendidikan, tentang ikatan mesra antara ibu-bapak dengan anak, menjadi makin memuakkan, seiring dengan, karena akibat industri besar, makin terputusnya segala ikatan keluarga di kalangan kaum proletar, dan makin terubahnya anak-anak mereka menjadi barang dagangan biasa dan perkakas kerja.

Tetapi kalian kaum Komunis hendak melakukan hak bersama atas kaum wanita, teriak seluruh borjuasi dengan serentak.

Borjuis memandang isterinya hanya sebagai suatu perkakas produksi belaka. Ia mendengar bahwa perkakas-perkakas produksi akan digunakan bersama, dan tentu saja tidak akan sampai pada kesimpulan lain kecuali bahwa nasib dipergunakan bersama itu akan menimpa pula kaum wanita.

Ia sama sekali tidak mempunyai dugaan bahwa sasaran sebenarnya yang dituju ialah justru menghapuskan kedudukan kaum wanita sebagai perkakas produksi semata-mata.

Lain daripada itu tak ada lagi yang lebih menggelikan daripada kegusaran borjuis kita terhadap apa yang mereka namakan hak-bersama atas kaum wanita yang secara resmi berlaku di kalangan kaum Komunis. Kaum Komunis tidak perlu melakukan hak-bersama atas kaum wanita; hal ini telah ada hampir sepanjang segala zaman.

Borjuis kita tidak puas dengan hal bahwa untuk mereka ada tersedia isteri-isteri dan anak-anak gadis kaum proletar, belum lagi pelacur-pelacur biasa, sangat gemar saling menggoda isteri-isteri yang satu dengan lainnya di kalangan mereka sendiri.

Dalam kenyataannya perkawinan borjuis adalah suatu sistim isteri-isteri untuk bersama. Kaum Komunis paling banyak hanyalah dapat dituduh bahwa mereka hendak melakukan hak-bersama atas kaum wanita secara sah dan terang-terangan, untuk mengganti yang tersembunyi secara munafik. Lain daripada itu, teranglah dengan sendirinya bahwa hapusnya sistim produksi yang sekarang ini tentu mengakibatkan pula hapusnya hak-bersama atas kaum wanita yang timbul dari sistim tersebut, ialah hapusnya pelacuran baik yang resmi maupun yang tidak resmi.

Selanjutnya kaum Komunis dituduh hendak menghapuskan tanah air dan nasionalitet.

Kaum buruh tidak mempunyai tanah air. Kita tidak dapat mengambil dari mereka apa yang tidak ada pada mereka. Karena proletariat pertama sekali harus merebut kekuasaan politik, harus mengangkat dirinya menjadi kelas yang memimpin dari nasion, harus mewujudkan dirinya sebagai nasion, maka sejauh itu ia bersifat nasional, biarpun tidak dalam arti kata menurut borjuasi.

Perselisihan-perselisihan dan antagonisme-antagonisme nasional antara bangsa-bangsa makin lama makin menghilang, disebabkan oleh perkembangan borjuasi, oleh kemerdekaan berdagang, oleh pasar dunia, oleh keseragaman dalam cara produksi dan dalam syarat-syarat hidup yang selaras dengan itu.

Kekuasaan proletariat akan lebih mempercepat hilangnya itu semua. Aksi yang bersatu, paling tidak dari negeri-negeri yang beradab, adalah salah satu syarat utama untuk pembebasan proletariat.

Sederajat dengan dihapuskannya penghisapan atas seseorang oleh orang lainnya, dihapuskan jugalah penghisapan atas suatu nasion oleh nasion lainnya. Sederajat dengan hilangnya antagonisme antara kelas-kelas dalam suatu nasion, berakhir jugalah permusuhan suatu nasion terhadap nasion lainnya.

Tuduhan-tuduhan terhadap Komunisme yang didasarkan pada pendirian agama, filsafat dan, pada umumnya, pendirian ideologi tidaklah perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Apakah diperlukan penglihatan yang dalam, untuk memahami bahwa pikiran, pandangan dan pengertian manusia, pendek kata, kesadaran manusia, berubah dengan tiap-tiap perubahan dalam syarat-syarat hidup materilnya, dalam hubungan-hubungan sosialnya dan dalam kehidupan sosialnya?

Hal lain apakah yang dibuktikan oleh sejarah pikiran, kecuali bahwa produksi intelek mengubah wataknya sederajat dengan hal bahwa produksi materil telah berubah? Pikiran-pikiran yang menguasai dalam tiap-tiap zaman adalah senantiasa pikiran-pikiran kelas yang berkuasa.

Apabila orang berbicara tentang pikiran-pikiran yang merevolusionerkan masyarakat, ia tidak lain hanyalah, mengungkapkan kenyataan, bahwa di dalam masyarakat lama, anasir-anasir dari suatu masyarakat baru telah diciptakan, dan bahwa leburnya pikiran-pikiran lama berjalan dengan langkah-langkah yang sama dengan leburnya syarat-syarat hidup yang lama.

Ketika dunia kuno sedang mendekati ajalnya, agama-agama kuno ditaklukkan oleh agama Kristen. Ketika pikiran-pikiran Kristen dalam abad ke-18 tunduk pada pikiran-pikiran rasionil, masyarakat feodal melakukan perjuangan mautnya melawan borjuasi yang ketika itu revolusioner. Pikiran-pikiran tentang kebebasan beragama dan kemerdekaan menganut suara hati, hanyalah mengungkapkan adanya kekuasaan persaingan bebas di dalam bidang pengetahuan.

"Tak dapat disangkal lagi," demikian orang akan berkata, pikiran-pikiran bersendikan agama, moral, filsafat, hukum, dsb. telah berubah dalam perjalanan perkembangan sejarah. Tetapi agama, moral, filsafat, ilmu politik, dan hukum, senantiasa tetap bertahan dan mengatasi pergantian ini.

"Kecuali itu, ada kebenaran-kebenaran abadi, semacam Kemerdekaan, Keadilan, dsb., yang lazim berlaku untuk segala keadaan masyarakat. Tetapi Komunisme menghapuskan kebenaran-kebenaran abadi, ia menghapuskan semua agama, dan semua moral, dan bukannya menyusun semuanya itu atas dasar yang baru; karenanya ia bertindak bertentangan dengan segala pengalaman sejarah yang lampau."

Apakah jadinya arti tuduhan ini? Sejarah dari seluruh masyarakat masa lampau terdiri dari perkembangan antagonisme-antagonisme kelas, antagonisme-antagonisme yang mempunyai berbagai bentuk dalam berbagai zaman.

Tetapi bagaimanapun juga bentuknya, satu kenyataan adalah sama untuk segala zaman yang telah lampau, yaitu, penghisapan atas sebagian dari masyarakat oleh suatu bagian yang lain. Maka tidaklah mengherankan bahwa kesadaran sosial dari abad-abad yang lampau, biarpun terdapat segala kebanyak ragaman dan corak, bergerak dalam bentuk-bentuk tertentu yang sama, atau pikiran-pikiran umum, yang tidak dapat hilang sepenuhnya kecuali dengan lenyapnya sama sekali antagonisme-antagonisme kelas.

Revolusi Komunis adalah pemutusan yang paling radikal dengan hubungan-hubungan milik yang tradisionil; tidaklah mengherankan bahwa perkembangannya membawa serta pemutusan yang paling radikal dengan pikiran-pikiran yang tradisionil.

Tetapi marilah kita biarkan saja dulu, keberatan-keberatan borjuis terhadap Komunisme.

Telah kita lihat di atas, bahwa langkah pertama dalam revolusi kelas buruh, adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi.

Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, memusatkan semua perkakas produksi ke dalam tangan Negara, artinya, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa [29]; dan untuk meningkatkan jumlah tenaga-tenaga produktif secepat mungkin.

Tentu saja, pada permulaannya, ini tak dapat dilaksanakan kecuali dengan jalan perombakan tak kenal ampun terhadap hak-hak atas milik, dan terhadap syarat produksi borjuis; oleh sebab itu dengan jalan tindakan-tindakan yang nampaknya secara ekonomi tidak mencukupi dan tak tertahankan, tetapi yang selama berlangsungnya gerakan itu, berlari lebih cepat, sehingga menghendaki perombakan yang lebih lanjut terhadap susunan masyarakat lama, dan merupakan sesuatu yang tak terelakkan sebagai cara untuk merevolusionerkan cara produksi.

Tindakan-tindakan ini tentu saja akan berlainan di negeri-negeri yang berlainan.

Biarpun demikian, di negeri-negeri yang paling maju, tindakan-tindakan yang berikut ini umumnya dapat saja diterapkan [30].

1. Penghapusan milik berupa tanah dan penggunaan segala sewa tanah untuk anggaran Negara.
2. Pajak penghasilan progresif yang berat.
3. Penghapusan hak waris.
4. Penyitaan milik semua emigran dan pemberontak.
5. Pemusatan kredit di tangan Negara, dengan perantaraan sebuah bank nasional dengan kapital Negara dan monopoli penuh.
6. Pemusatan alat-alat perhubungan dan pengangkutan ke dalam tangan Negara. 7. Penambahan pabrik-pabrik dan perkakas-perkakas produksi yang dimiliki oleh Negara; penggarapan tanah-tanah terlantar, dan perbaikan tanah umumnya sesuai dengan rencana bersama.
8. Wajib kerja yang sama untuk semua, pembentukan tentara-tentara industri, terutama untuk pertanian. 9. Penggabungan antara perusahaan pertanian dengan perusahaan industri, penghapusan berangsur-angsur perbedaan antara kota dan desa, dengan pembagian penduduk yang lebih seimbang ke seluruh negeri. 10. Pendidikan cuma-cuma untuk semua anak di sekolah-sekolah umum; penghapusan kerja anak-anak di pabrik dalam bentuknya yang sekarang ini. Perpaduan pendidikan dengan produksi materiil, dsb., dsb.

Apabila, dalam perjalanan perkembangan, perbedaan-perbedaan kelas telah hilang, dan seluruh produksi telah dipusatkan ke dalam tangan suatu perserikatan luas dari seluruh nasion, kekuasaan umum akan kehilangan watak politiknya. Kekuasaan politik, menurut arti kata yang sesungguhnya, hanyalah kekuasaan terorganisasi dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Apabila proletariat selama perjuangannya melawan borjuasi terpaksa, karena tekanan keadaan, mengorganisasi dirinya sebagai kelas, apabila, dengan jalan revolusi, ia menjadikan dirinya kelas yang berkuasa, dan, sebagai kelas yang berkuasa, menghapuskan dengan kekerasan hubungan-hubungan produksi yang lama, maka ia, bersama-sama dengan syarat-syarat ini akan menghilangkan syarat-syarat untuk adanya antagonisme-antagonisme kelas dan adanya kelas-kelas pada umumnya, dan dengan demikian akan menghapuskan kekuasaannya sendiri sebagai kelas.

Sebagai ganti dari masyarakat borjuis yang lama, dengan kelas-kelasnya beserta antagonisme-antagonisme kelasnya, kita akan mempunyai suatu persekutuan hidup di mana perkembangan bebas dari setiap orang menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari semuanya.

III. Literatur Sosialis dan Komunis [31]

1. Sosialisme reaksioner

a. Sosialisme feodal

Disebabkan oleh kedudukanya di dalam sejarah, menjadilah panggilan suci aristokrasi Perancis dan Inggeris untuk menulis brosur-brosur menentang masyarakat burjuis modern. Dalam revolusi Perancis bulan Juli 1830, dan dalam gerakan Reform Inggeris, [32] aristokrasi ini sekali lagi takluk pada parvenu [33] yang dibenci itu. Suatu perjuangan politik yang gawat sudah tidak mungkin ada lagi sama sekali. Hanya tinggal perjuangan literaturlah yang masih mungkin. Tetapi dalam lapangan literaturpun semboyan-semboyan lama dari zaman restorasi telah menjadi tidak mungkin. [34]

Untuk membangkitkan simpati, aristokrasi itu terpaksa pura-pura melupakan kepentinganya sendiri dan merumuskan surat tuduhanya terhadap burjuasi demi kepentingan kelas buruh yang terhisap semata-mata. Jadi aristokrasi membalas dendamnya dengan menjanjikan lagu-lagu sindiran terhadap majikannya yang baru, dan membisikkan ke telinga majikanya itu ramalan-ramalan buruk tentang bencana yang akan datang.

Dengan jalan ini timbullah sosialisme feodal: setengah ratapan, setengah sindiran; setengah gema masa lampau, setengah ancaman masadatang; kadang-kadang dengan kritiknya yang pietah, pahit dan tajam menusuk burjuasi tepat pada ulu hatinya; tetapi akibatnya selalu menggelikan karena sama sekali tak mempunyai kemampuan untuk memahami perjalanan sejarah modern.

Untuk menghimpun Rakyat di sekitar dirinya, aristokrasi melambai-lambaikan kantong-pengemis proletar sebagai panji-panjinya. Tetapi sedemikian sering Rakyat mengikuti mereka, Rakyat melihat di belakang mereka lambang kebesaran feodal yang lama, dan lari bubar dengan tawa lebar dan mengejek.

Sebagian dari kaum Legitimis [35] Perancis dan kaum “Inggeris Muda” [36] memainkan lakon ini.

Dalam menunjukkan bahwa cara penghisapan mereka adalah berlainan dengan cara penghisapan burjuasi, kaum feodal lupa bahwa mereka menghisap dalam keadaan-keadaan dan syarat-syarat yang berlainan sama sekali, dan yang kini telah menjadi kuno. Dalam memperlihatkan bahwa di bawah kekuasaan mereka tak pernah ada proletariat modern, mereka.lupa bahwa burjuasi modern adalah anak keturunan yang sewajarnya dari bentuk masyarakat mereka sendiri.

Lain daripada itu, mereka sedikit sekali menyembunyikan watak reaksioner dari kritiknya sehingga tuduhan mereka yang terutama terhadap burjuasi berarti juga bahwa di bawah rezim burjuis berkembanglah suatu kelas, yang nantinya akan pasti menghancurleburkan seluruh susunan tatatertib masyarakat lama.

Kemarahan mereka terhadap burjuasi mengenai hal bahwa burjuasi melahirkan proletariat, tidak sehebat kemarahannya mengenai hal bahwa burjuasi melahirkan proletariat yang revolusioner.

Oleh sebab itu, dalam praktek politik, mereka ikut serta dalam segala tindakan kekerasan terhadap kelas buruh; dan dalam kehidupan biasa sehari-hari, biarpun ucapan-ucapannya begitu muluk tinggi membubung, mereka tidak malu-malu untuk memungut warisan buah lezat yang jatuh dari pohon industri dan tidak malu-malu pula untuk menukarkan kejujuran, cinta dan kehormatan dengan perdagangan bulu domba, perdagangan ubi-gula dan minuman-minuman keras yang terbuat dari kentang. [37]

Sebagaimana pendeta senantiasa berjalan bergandengan tangan dengan tuan tanah, demikian jugalah Sosialisme Gereja dengan Sosialisme Feodal.

Tak ada hal lain yang lebih mudah daripada memberi pulasan Sosialis pada asetisme [38] Kristen. Bukankah agama Kristen telah berseru dengan lantangnya menentang milik perseorangan, menentang perkawinan, menentang Negara? Bukankah ia, sebagai ganti semuanya itu tadi, telah mengkhotbahkan kedermawanan dan kemiskinan, pembujangan dan kebiasaan menahan nafsu, kehidupan biara dan Ibunda Gereja? Sosialisme Kristen tidak lain hanyalah air suci yang digunakan oleh pendeta untuk mengkuduskan sakit-hati kaum aristokrat.

b. Sosialisme Burjuis Kecil

Aristokrasi feodal bukanlah satu-satunya kelas yang telah diruntuhkan oleh burjuasi, bukanlah satu-satunya kelas yang syarat-syarat kelangsungannya menjadi rusak dan musnah dalam suasana masyarakat burjuis modern. Warga kota dari Zaman Tengah dan petani pemilik kecil adalah pendahulu dari burjuasi modern. Di negeri-negeri yang industri dan perniagaannya belum berkembang, kedua kelas ini masih hidup berdampingan dengan burdjuasi yang sedang tumbuh.

Di negeri-negeri di mana peradaban modern telah berkembang sepenuhnya, terbentuklah suatu kelas burjuis kecil, yang terombang-ambing di antara proletariat dan burjuasi dan senantiasa memperbarui dirinya sebagai bagian-tambahan dari masyarakat burjuis. Tetapi anggota-anggota orang-seorang dari kelas ini terus-menerus dicampakkan kedalam kalangan proletariat oleh karena persaingan, dan setelah industri modern maju, mereka itu malahan melihat datangnya saat dimana mereka akan lenyap sama sekali sebagai golongan yang berdiri-sendiri dari masyarakat modern, untuk digantikan, dalam perusahaan-perusahaan, pertanian dan perniagaan, oleh mandor-mandor, pegawai-pegawai, dan pelayan-pelayan toko.

Di negeri-negeri semacam Perancis, di mana kaum taninya merupakan bagian yang jauh lebih besar daripada separo jumlah penduduk, adalah wajar bahwa penulis-penulis yang memihak proletariat menentang burjuasi, memakai ukuran petani dan burjuis kecil dalam kritiknya terhadap rezim burjuis, dan dari segi pendirian kelas-kelas perantara ini membela kelas buruh. Dengan begitu timbullah Sosialisme burjuis kecil. Sismondi [39] adalah pemuka dari ajaran ini, tidak hanya di Perancis saja, tetapi juga di Inggeris.

Ajaran Sosialisme ini dengan sangat tajamnya mengurai kontradiksi-kontradiksi di dalam syarat-syarat industri modern. Ia menelanjangi pembelaan-pembelaan munafik dari kaum ekonomis. Ia membuktikan dengan tak dapat disangkal lagi, akibat-akibat yang mencelakakan dari mesin dan pembagian kerja; konsentrasi kapital dan tanah ke dalam beberapa tangan saja; produksi-kelebihan dan krisis-krisis ; ia menunjukkan keruntuhan yang tak terelakkan dari burjuis kecil dan tani, kesengsaraan proletariat, anarki dalam produksi, ketidakadilan yang sangat menyolok dalam pembagian kekayaan, perang pemusnahan di bidang industri di kalangan nasion-nasion, penghancuran ikatan-ikatan moral lama, hubungan-hubungan kekeluargaan lama, nasionalitet-nasionalitet lama.

Menurut tujuannya yang positif, bagaimanapun juga Sosialisme macam ini memperjuangkan hidup kembalinya alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran lama dan bersama itu semua hubungan milik lama serta masyarakat lama, atau membatasi alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran modern di dalam rangka hubungan milik lama yang telah dan pasti dihancurkan oleh alat-alat itu. Dalam kedua hal ini, kedua-duanya adalah reaksioner dan utopi.

Kata-kata mereka yang terakhir ialah: Gabungan gilde sebagai ganti manufaktur; hubungan-hubungan patriarkal dalam pertanian.

Akhirnya, ketika kenyataan-kenyataan sejarah yang tak dapat dibantah lagi telah menghapuskan semua pengaruh dari penipuan diri sendiri yang memabukkan, Sosialisme macam ini mengundurkan diri dengan hina dan sangat mengibakan.

c. Sosialisme Jerman atau Sosialisme “Sejati”

Literatur Sosialis dan Komunis Perancis, suatu literatur yang lahir di bawah tekanan burjuasi yang sedang berkuasa, dan yang merupakan pernyataan dari perjuangan melawan kekuasaan ini, dimasukkan ke Jerman pada suatu waktu ketika burjuasi di negeri itu baru saja memulai perjuangannya menentang absolutisme feodal.

Kaum filsuf, setengah-filsuf dan “jiwa-jiwa berbakat” Jerman dengan penuh nafsu menguasai literatur ini dan hanya lupa bahwa berpindahnya tulisan-tulisan tersebut keluar dari Perancis tidaklah disertai oleh berpindahnya syarat-syarat sosial Perancis ke Jerman. Setelah berhadap-hadapan dengan syarat-syarat sosial di Jerman, literatur Perancis ini kehilangan segala arti praktisnya yang langsung, dan hanya mempunyai corak literer semata-mata. Dengan demikian, bagi para filsuf Jerman abad kedelapanbelas, tuntutan-tuntutan Revolusi Perancis yang pertama tidaklah lebih daripada tuntutan-tuntutan “Akal Praktis” pada umumnya, dan pernyataan kemauan dari burjuasi yang revolusioner, menurut pandangan mereka berarti hukum-hukum dari Kemauan belaka, hukum-hukum dari Kemauan sebagaimana yang seharusnya, hukum-hukum dari Kemauan manusia yang sejati pada umumnya.

Tulisan-tulisan kaum literat Jerman hanya berwujud penyesuaian pikiran-pikiran baru Perancis itu dengan perasaan filsafat kuno mereka, atau lebih tepat lagi, mengambil pikiran-pikiran Perancis itu dengan tidak meninggalkan pandangan filsafat mereka sendiri.

Cara mengambilnya berlangsung sama seperti memiliki bahasa asing, yaitu dengan jalan menterjemahkan.

Umum mengetahui bagaimana rahib-rahib menuliskan riwayat hidup yang tidak masuk akal dari orang-orang suci Katolik di atas manuskrip di mana telah dituliskan karangan-karangan kelasik dari zaman purbakala ketika orang belum beragama. Kaum literat Jerman berbuat sebaliknya dengan literatur keduniaan Perancis. Mereka menuliskan filsafatnya yang tidak ada artinya itu di belakang tulisan Perancis yang asli. Misalnya, di belakang kritik Perancis tentang fungsi-fungsi ekonomi dari uang mereka tulis “Pengungkiran terhadap Kemanusiaan”, dan di belakang kritik Perancis tentang negara burjuis, mereka tulis “Penghapusan pengaruh faham abstrak pada umumnya”, dan seterusnya.

Penyelundupan kata-kata kosong filsafat ini ke dalam kritik-kritik Perancis bersejarah itu mereka namakan “Filsafat Tindakan”, “Sosialisme Sejati”, “Ilmu Jerman tentang Sosialisme”, “Dasar Filsafat Sosialisme”, dan seterusnya.

Literatur Sosialis dan Komunis Perancis dengan demikian menjadi dikebiri sama sekali. Dan oleh karena literatur ini di dalam tangan bangsa Jerman tidak lagi menyatakan perjuangan suatu kelas melawan kelas lainnya, dia merasa yakin telah mengatasi “kesepihakan Perancis” dan merasa telah mengemukakan bukan keperluan-keperluan yang sebenarnya, tetapi keperluan-keperluan akan Kebenaran; bukan kepentingan-kepentingan proletariat, tetapi kepentingan-kepentingan Dunia Kemanusiaan, Manusia umumnya, yang tidak termasuk dalam sesuatu kelas, tidak mempunyai kenyataan, manusia yang hanya terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja.

Sosialisme Jerman ini yang telah menerima pelajarannya sebagai murid begitu sungguh-sungguh dan khidmat, dan yang telah memuji-muji dagangannya yang tak berharga itu dengan gaja tukang jual obat, sementara itu berangsur-angsur berkurang ketololannya yang congkak itu.

Perlawanan burjuasi Jerman dan terutama burjuasi Prusia terhadap aristokrasi feodal dan monarki absolut dengan perkataan lain, gerakan liberal, menjadi semakin sengit.

Dengan demikian Sosialisme “Sejati” mendapat kesempatan yang telah dinanti-nantikan itu untuk menghadapi gerakan politik dengan tuntutan-tuntutan Sosialls, untuk melemparkan kutukan-kutukan tradisionil terhadap liberalisme, terhadap pemerintah yang representatif, terhadap persaingan burjuis, kemerdekaan pers burjuis, perundang-undangan burjuis, kemerdekaan dan persamaan burjuis, dan untuk menganjurkan kepada massa bahwa mereka tak akan mendapat suatu apapun dan akan kehilangan segala-galanya dalam gerakan burjuis ini. Sosialisme Jerman yang menjadi kumandang kosong dari kritik-kritik Perancis justru lupa pada waktu itu, bahwa kritik-kritik Perancis mengandung ketentuan adanya masyarakat burjuis modern dengan syarat-syarat ekonomi hidupnya yang sesuai dan susunan politik yang disesuaikan dengan itu, ialah hal-hal yang sebenarnya harus dicapai sebagai tujuan dari perjuangan yang akan datang di Jerman.

Bagi pemerintah-pemerintah yang mempunyai kekuasaan mutlak dengan pengikut-pengikutnya yang terdiri dari pendeta-pendeta, profesor-profesor, tuantanah-tuantanah besar dan pegawai-pegawai pemerintah, Sosialisme “Sejati” ini merupakan suatu alat yang berguna untuk menakut-nakuti burjuasi yang sedang mengancam.

Ini adalah sebagai obat penawar sesudah merasakan kepedihan cambukan dan tembakan yang digunakan oleh pemerintah-pemerintah tadi, justru pada waktu itu, untuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan kelas buruh Jerman.

Jadi selain daripada Sosialisme “Sejati” ini menjadi senjata bagi pemerintah-pemerintah itu guna melawan burjuasi Jerman, ia juga langsung mewakili kepentingan reaksioner, kepentingan burjuasi kecil Filistin [40] Jerman. Di Jerman, kelas burjuis kecil, peninggalan abad keenambelas, yang sejak itu senantiasa timbul kembali dalam berbagai bentuk, adalah dasar sosial yang sebenarnya dari keadaan-keadaan yang sedang berlaku.

Mempertahankan kelas ini berarti mempertahankan keadaan-keadaan yang sedang berlaku di Jerman. Kekuasaan industri dan politik dari burjuasi mengancam kelas ini dengan suatu kehancuran - pada satu pihak, karena konsentrasi kapital; pada pihak lain, karena timbulnya proletariat yang revolusioner. Sosialisme “Sejati” timbul untuk membunuh kedua mangsanya ini dengan satu kali pukul. Ia menjalar seperti suatu wabah.

Pakaian yang terbuat daripada jaring laba-laba yang spekulatif, disulam dengan bunga kata-kata indah yang dicelup ke dalam air perasaan hati yang merana, pakaian yang luar biasa ini yang digunakan oleh kaum Sosialis Jerman untuk membalut “kebenaran-kebenaran abadi” mereka yang tidak berharga, yang hanya tinggal kulit dan tulang belaka, dapat memperluas penjualan barang dagangan mereka secara luar biasa di kalangan publik yang semacam itu.

Dan dari pihaknya sendiri, Sosialisme Jerman makin lama makin mengakui panggilan atas dirinya sebagai wakil dari kaum Filistin burjuis kecil yang sombong.

Ia mengumumkan nasion Jerman sebagai manusia teladan dan Filistin kecil Jerman sebagai manusia teladan. Kepada setiap kerendahan budi yang keji dari manusia teladan ini ia berikan pengertian sosialis yang lebih tinggi, yang tersembunyi, yang sungguh bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya. Ia telah bertindak sedemikian jauh hingga dengan langsung menentang aliran Komunisme yang “merusak secara ganas”, dan dengan menyatakan kebenciannya yang amat sangat dan tidak berpihak terhadap semua perjuangan kelas. Kecuali beberapa buah saja, segala yang dinamakan publikasi Sosialis dan Komunis yang sekarang (1847) beredar di Jerman termasuk dalam lingkungan literatur yang kotor dan melemahkan semangat ini. [e]

2. Sosialisme Konservatif atau Sosialisme Burjuis

Sebagian dari burjuasi berkehendak memperbaiki kepincangan-kepincangan sosial untuk menjamin kelangsungan masyarakat burjuis.

Ke dalam golongan.ini termasuk kaum ekonomis, filantropis, humanis, golongan yang bertujuan memperbaiki keadaan kelas buruh, organisator-organisator badan amal, anggota-anggota perkumpulan-perkumpulan penyayang binatang, kaum fanatis penganut kesederhanaan, kaum perombak secara tambalsulam dari segala macam corak. Dan lagi bentuk Sosialisme ini telah diolah lebih lanjut dan tersusun menjadi sistim-sistim yang sempurna.

Sebagai suatu contoh dari Sosialisme macam ini boleh disebut Philosophie de la Misère [41] dari Proudhon.

Burjuis Sosialis menghendaki segala kebaikan dan manfaat dari syarat-syarat sosial modern tanpa perjuangan dan bahaya-bahaya yang mesti timbul dari situ. Mereka menginginkan keadaan masyarakat yang sekarang tanpa anasir-anasirnya yang revolusioner dan yang mendatangkan kehancuran. Mereka menghendaki suatu burjuasi tanpa proletariat. Burjuasi tentu saja menganggap dunia di mana ia menjadi yang dipertuan sebagai dunia yang terbaik. Sosialisme burjuis mengembangkan anggapan yang menyenangkan ini menjadi berbagai sistim yang sempurna atau setengah sempurna. Dalam menghendaki supaya proletariat melaksanakan sistim semacam itu, dan supaya dengan demikian langsung memasuki Jerusalem Baru, ia dalam kenyataannya hanyalah menghendaki supaya proletariat tinggal di dalam batas-batas masyarakat yang ada sekarang, tetapi harus melemparkan segala pikiran kebenciannya mengenai burjuasi.

Bentuk yang kedua dari Sosialisme ini yang lebih praktis tetapi kurang sistimatis, mencoba mengecilkan tiap gerakan revolusioner di mata kelas buruh dengan menunjukkan bahwa bukan reform politik semata-mata, tetapi hanyalah suatu perubahan dalam syarat-syarat hidup materiil, dalam hubungan-hubungan ekonomi, yang akan mendatangkan sesuatu manfaat dan keuntungan bagi mereka. Tetapi dengan perubahan-perubahan dalam syarat-syarat hidup materiil, bentuk Sosialisme ini sekali-kali tidak mengartikan penghapusan hubungan-hubungan produksi burjuis, suatu penghapusan yang hanya dapat dilakukan dengan suatu revolusi, tetapi perbaikan-perbaikan administratif yang didasarkan pada terus berlangsungnya hubungan-hubungan produksi ini; maka itu, perbaikan-perbaikan yang sama sekali tidak mempengaruhi hubungan-hubungan antara kapital dengan kerja, tetapi paling banyak, mengurangi beaja dan menyederhanakan pekerjaan administratif pemerintah burjuis.

Sosialisme burjuis mendapat pernyataan yang selaras, jika dan hanya jika ia menjadi suatu susunan kata-kata kosong dalam pidato belaka.

Perdagangan bebas! untuk kepentingan kelas buruh; tarif-bea yang melindungi! untuk kepentingan kelas buruh; perubahan peraturan penjara! untuk kepentingan kelas buruh; inilah kata-kata yang terakhir dan satu-satunya yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh Sosialisme burjuis.

Ia disimpulkan dalam kata-kata: burjuis adalah burjuis - untuk kepentingan kelas buruh.

3. Sosialisme dan Komunisme yang Kritis Utopi

Kita di sini tidak membicarakan literatur yang dalam tiap revolusi besar modern selalu menyatakan tuntutan-tuntutan proletariat, seperti tulisan-tulisan Babeuf [42] dan lain-lainnya. Percobaan-percobaan langsung yang pertama dari proletariat untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri, yang dilakukan dalam waktu kekacauan umum, ketika masyarakat feodal sedang ditumbangkan, percobaan-percobaan ini sudah tentu gagal, oleh karena keadaan proletariat yang belum berkembang ketika itu dan juga oleh tidak adanya syarat-syarat ekonomi untuk kebebasannya, syarat-syarat yang masih harus diadakan dan hanya dapat diadakan oleh zaman burjuis yang akan datang. Literatur revolusioner yang mengikuti gerakan-gerakan yang pertama dari proletariat ini sudah tentu mempunyai watak yang reaksioner. Ia memberikan didikan asetisme universal dan didikan persamaan sosial dalam bentuk yang sangat kasar.

Sistim-sistem yang sesungguhnya dinamakan sistim Sosialis dan Komunis, yaitu sistim-sistem Saint-Simon, Fourier, Owen dan lain-lainnya, timbul pada permulaan masa belum berkembangnya perjuangan antara proletariat dengan burjuasi, seperti diterangkan di atas. (Iihat Bab I. Kaum Burjuis dan Kaum Proletar).

Para pendiri sistim ini, sesungguhnya melihat antagonisme-antagonisme kelas, dan juga melihat bergeraknya anasir-anasir yang menghancurkan bentuk masyarakat yang sedang berlaku. Tetapi proletariat, yang baru lahir ini, memberikan kepada mereka suatu gambaran dari kelas yang tidak mempunyai sesuatu inisiatif bersejarah atau sesuatu gerakan politik yang berdiri sendiri.

Karena perkembangan antagonisme kelas adalah sejalan dengan perkembangan industri, maka keadaan ekonomi, sebagaimana yang mereka ketahui, masih belum lagi memberikan kepada mereka syarat-syarat materiil untuk kebebasan proletariat. Oleh sebab itu mereka mencari suatu ilmu sosial baru, mencari hukum-hukum sosial baru, untuk menimbulkan syarat-syarat ini.

Aktivitet mencipta dari mereka sendiri harus menggantikan aktivitet sosial; syarat-syarat untuk kebebasan yang ditimbulkan menurut sejarah harus tunduk pada syarat-syarat yang bersifat khayal; dan terorganisasinya proletariat sebagai kelas yang maju secara berangsur-angsur harus tunduk pada terorganisasinya suatu masyarakat yang diangan-angankan oleh mereka sendiri. Sejarah yang akan datang, menurut pandangan mereka, menjadi propaganda dan penyelenggaraan dalam praktek dari rencana-rencana sosial mereka.

Dalam menyusun rencana-rencananya itu, mereka sudah tentu insyaf bahwa mereka terutama memperhatikan kepentingan kelas buruh sebagai kelas yang paling menderita. Mereka memandang proletariat hanya semata-mata sebagai kelas yang menderita.

Keadaan perjuangan kelas yang belum berkembang itu, maupun keadaan-keadaan sekeliling mereka sendiri, menyebabkan kaum Sosialis semacam ini menganggap dirinya jauh diatas segala antagonisme-antagonisme kelas. Mereka ingin memperbaiki keadaan tiap-tiap anggota masyarakat, bahkan juga keadaan golongan yang sudah paling beruntung. Dari itu, mereka biasa berseru kepada masyarakat seumumnya tanpa membeda-bedakan kelas; bahkan lebih suka berseru kepada kelas yang berkuasa. Sebab, jika sekali orang sudah mengerti akan sistim mereka, bagaimanakah orang itu tak akan melihat di dalamnya rencana yang terbaik dari keadaan masyarakat yang terbaik?

Oleh sebab itu mereka menolak segala aksi politik, dan terutama segala aksi revolusioner; mereka ingin mencapai tuiuan-tujuannya dengan jalan damai, dan berusaha dengan percobaan-percobaan kecil yang sudah tentu gagal, dan dengan kekuatan contoh, untuk membuka jalan bagi ajaran sosial baru ini.

Gambaran-gambaran khayal dari masyarakat masadatang yang semacam itu, yang digambarkan pada masa ketika proletariat masih berada dalam keadaan yang sangat terbelakang dan hanya mempunyai pandangan yang bersifat khayal tentang kedudukannya sendiri, adalah sesuai dengan hasrat-hasrat pertama yang naluriah dari kelas itu untuk pembangunan-kembali masyarakat secara umum.

Tetapi tulisan-tulisan Sosialis dan Komunis ini juga mengandung suatu anasir yang kritis. Mereka menyerang tiap dasar dari masyarakat yang sekarang. Oleh sebab itu mereka memberi bahan-bahan penerangan yang sangat berharga bagi kelas buruh. Tindakan-tindakan praktis yang diusulkan didalamnya - seperti penghapusan perbedaan antara kota dan desa, penghapusan keluarga, penghapusan dijalankannya industri-industri untuk kepentingan perseorangan, dan penghapusan sistim-sumpah, pernyataan tentang persamaan sosial, perubahan fungsi Negara menjadi hanya pengawas produksi saja - semua usul ini semata-mata menunjukkan hilangnya antagonisme-antagonisme kelas yang pada waktu itu baru saja mulai timbul, dan yang dalam tulisan-tulisan ini, baru dikenal hanya dalam bentuknya yang permulaan, yang hanya samar-samar dan tidak tertentu. Oleh sebab itu usul-usul tersebut sama sekali bersifat utopi.

Isi Sosialisme dan Komunisme yang kritis-utopi itu mengandung suatu tujuan yang bertentangan dengan perkembangan sejarah. Bersamaan dengan berkembangnya perjuangan kelas dan bersamaan dengan perjuangan kelas itu mengambil bentuk yang tertentu, maka hilanglah semua arti dalam praktek dan kebenaran teoritis dari pendirian khayal yang menyatakan berada diluar perjuangan, dan demikian juga serangan-serangan yang bersifat khayal terhadapnya. Oleh karena itu, walaupun para pencipta sistim-sistem ini dalam banyak hal revolusioner, pengikut-pengikut mereka senantiasa merupakan golongan-golongan reaksioner semata-mata. Mereka berpegang teguh kepada pandangan-pandangan asli dari guru-guru mereka, bertentangan dengan perkembangan kesejarahan yang progresif dari proletariat. Oleh karena itu mereka mencoba dengan konsekwen memadamkan perjuangan kelas dan mendamaikan antagonisme-antagonisme kelas. Mereka masih memimpikan pelaksanaan percobaan dari utopi-utopi sosial mereka, bermimpi tentang membentuk “phalanstere-phalanstere” [f] yang terpencil, tentang mendirikan “Home Colonies” [g] atau mengadakan suatu “Icaria Kecil” - Jerusalem Baru kecil-kecilan - dan untuk mewujudkan segala lamunan ini, mereka terpaksa meminta belaskasihan dan uang dari kaum burjuis. Ber-angsur-angsur mereka tenggelam kedalam golongan kaum Sosialis konservatif reaksioner yang telah digambarkan di atas, berbeda dengan mereka ini hanya dalam hal bahwa mereka berlagak pintar dengan lebih sistimatis, dan dalam hal kepercayaan mereka yang fanatik dan bersifat ketakhayulan kepada pengaruh yang mentakjubkan dari ilmu sosial mereka.

Oleh karena itu mereka dengan keras menentang segala aksi politik dari pihak kelas buruh; aksi yang semacam itu, menurut mereka, hanya dapat terjadi karena sama sekali tidak percaya kepada ajaran yang baru itu.

Kaum Owenis di Inggris dan kaum Fourieris di Perancis masing-masing menentang kaum Cartis [43] dan kaum Reformis. [44]

IV. Pendirian kaum Komunis dalam hubungan dengan berbagai partai oposisi

Dalam Bab II telah dijelaskan hubungan-hubungan kaum Komunis dengan partai-partai kelas buruh yang ada, seperti kaum Cartis di Inggeris dan kaum Reformer Agraria di Amerika. [45]

Kaum Komunis berjuang untuk mencapai tujuannya yang terdekat, untuk menuntut pelaksanaan kepentingan-kepentingan sementara dari kelas buruh; tetapi dalam gerakan yang sekarang mereka juga mewakili dan memperhatikan masadatang gerakan itu. Di Perancis kaum Komunis menggabungkan diri dengan kaum Sosial-Demokrat [h] menentang burjuasi yang konservatif dan radikal, tetapi dengan memegang teguh hak untuk menentukan pendirian yang kritis terhadap semboyan-semboyan dan ilusi-ilusi yang ditinggalkan turun-temurun oleh Revolusi yang besar.

Di Swis mereka menyokong kaum Radikal [46], dengan tidak melupakan kenyataan, bahwa partai ini terdiri dari anasir-anasir yang antagonistis, sebagian dari kaum Sosialis Demokrat, menurut faham Perancis, sebagian dari kaum burjuis radikal.

Di Polandia mereka menyokong partai yang mendorong revolusi agraria sebagai syarat utama untuk kebebasan nasional, menyokong partai yang mengobarkan pemberontakan Krakau dalam tahun 1846. [47]

Di Jerman mereka berjuang bersama-sama dengan burjuasi selama burjuasi itu bertindak secara revolusioner menentang monarki absolut, tuantanah feodal dan burjuasi kecil. [48]

Tetapi mereka tak pernah berhenti barang sekejappun menanamkan kedalam kelas buruh pengertian yang sejelas mungkin tentang antagonisme yang bermusuhan antara burjuasi dengan proletariat, supaya kaum buruh Jerman dapat langsung menggunakan semua syarat sosial dan politik yang tidak boleh tidak mesti ditimbulkan oleh burjuasi bersama-sama dengan kekuasaannya, sebagai senjata terhadap burjuasi, dan supaya sesudah jatuhnya kelas-kelas reaksioner di Jerman, perjuangan melawan burjuasi itu sendiri dapat segera dimulai.

Kaum Komunis mengarahkan perhatiannya terutama kepada Jerman, sebab negeri itu sedang berada dekat pada saat revolusi burjuis yang mesti akan berlangsung dalam syarat-syarat peradaban Eropa yang lebih maju dan dengan suatu proletariat yang jauh lebih maju daripada proletariat di lnggeris dalam abad ketujuhbelas, dan proletariat di Perancis dalam abad kedelapanbelas, dan oleh karena itu revolusi burjuis di Jerman tidak lain hanya akan menjadi pendahuluan dari suatu revolusi proletar yang segera akan menyusul.

Pendeknya, dimana-mana kaum Komunis menyokong tiap gerakan revolusioner menentang susunan tatatertib sosial dan politik yang sekarang. [i]

Dalam segala gerakan ini mereka mengemukakan masalah milik sebagai masalah yang pokok bagi tiap gerakan, tidak pandang derajat perkembangannya pada waktu itu.

Akhirnya, mereka bekerja dimana saja untuk persatuan dan kerukunan partai-partai demokratis di semua negeri.

Kaum Komunis tidak sudi menyembunyikan pandangan-pandangan dan cita-citanya. Mereka menerangkan dengan terang-terangan bahwa cita-citanya dapat dicapai hanya dangan membongkar dengan kekerasan segala syarat sosial yang sedang berlaku. Biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusi Komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai dunia.

Kaum buruh sedunia, bersatulah!