Sabtu, 15 Desember 2007

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

“Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”
(Pramudya Ananta Toer)

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan, di berbagai belahan dunia, kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan. Gerakan pembebasan nasional di turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Dalam sejarah Indonesia sendiri, pelajar terdidik di Negeri belanda pertama kali mencetuskan konsep nasionalisme Indonesia dalam program perjuangannya. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Perancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda tidak boleh diremehkan, apalagi mencoretnya dalam proses penulisan sejarah.

Di Indonesia, wacana kepemimpinan kaum muda menimbulkan persilangan pendapat, yang terkadang perdebatan itu tidak berdasarkan logika berpikir ilmiah, dan objektif. Lihat saja, argumentasi beberapa kelompok yang tidak menghendaki kepemimpinan kaum Muda, menuduh bahwa sektor masyarakat yang satu ini tidak pantas untuk memimpin republik. Umumnya, kelompok penentang menganggap bahwa generasi muda Indonesia saat ini memiliki sentimen nasionalisme yang rendah, patriotisme yang kendor, dan moral yang rusak. Sedangkan dari kelompok pemuda sendiri, yang di motori oleh aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda menilai bahwa wacana kepemimpinan kaum muda adalah mungkin. Apalagi jika di letakkan dalam perkembangan situasi nasional sekarang, panggung politik nasional diisi oleh tokoh-tokoh tua yang sudah tidak capable untuk memimpin negeri ini. Kepemimpinan nasional sekarang yang masih di dominasi oleh tokoh tua tidak memberikan perspektif perubahan, malah semakin menyeret bangsa Indonesia dalam situasi nasional yang memprihatinkan; kemiskinan, korupsi, kelaparan, pengangguran, diskriminasi, dan kediktatoran.

Namun, perlu kiranya kita membongkar sesat pikir generasi tua Indonesia saat ini yang meremehkan kepemimpinan kaum muda dengan membuka kembali dokumen sejarah tidak tertulis, teori-teori, dan gagasan kaum muda yang relevan dalam perdebatan Ini.

Sejarah Indonesia adalah Sejarah Kaum Muda


Sejarah tidak di tentukan oleh Massa tetapi oleh tokoh, teriak Karl Manhein. Dengan logika berpikir seperti ini maka penulisan sejarah lebih berorientasikan patriotisme/heroisme individual, biography sang tokoh, dan sangat meminimumkan peranan massa. Jika sejarah adalah mulut yang bisa meludah, mungkin dia akan meludahi muka Karl Manhein yang telah mengambil kesimpulan salah tersebut. Sebenarnya sejarah adalah totalitas perkembangan masyarakat, dalam berbagai aspek tergantung mana yang menjadi fokus pengamatan kita. Namun, jika di analisa perkembangan masyarakat sejarah detail, maka akan diketemukan bahwa pikiran maju dan kehendak massalah yang telah menjadi motor utama pergerakan sejarah. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 merupakan salah satu stage dari perjalanan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membebaskan bangsanya. Boleh dikatakan bahwa kaum mudalah sebagai sang pelopor, bahkan karena semakin menonjol, Benedict Anderson(1972) menyimpulkan bahwa jiwa revolusi indonesia adalah kaum muda.

Contoh paling konkret soal kepeloporan kaum muda dalam masa awal revolusi adalah peristiwa rengasdengklok yang melahirkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh perbedaan pendapat antara tokoh muda dan tokoh tua soal kemerdekaan Indonesia. Bagi tokoh muda yang sebagian besar dari kelompok Asrama Menteng 31, bahwa kemerdekaan Indonesia haruslah hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Jepang. Bagi kaum Muda, kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur raya dan pasifik adalah ruang terbuka untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan bagi tokoh tua, dalam hal ini Soekarno-Hatta bahwa “kita tidak boleh gegabah dengan mengambil tindakan radikal melawan pemerintah Jepang, dan lebih baik menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, lewat Lembaga PPKI dan BPUKI. Kaum muda kemudian menculik Soekarno, dibawa kesebuah tempat bernama rengasdengklok, di tempat itu kaum muda meminta Soekarno (atas nama bangsa Indonesia) agar segera membacakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kejadian diatas di minimalkan, dan dikaburkan dalam penulisan sejarah Indonesia sekarang. Sehingga, banyak orang tua yang lupa bahwa sebenarnya bangsa dan negara yang bernama Indonesia, yang merayakan kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus adalah merupakan hasil perjuangan kaum muda.

Sangat penting melihat posisi kaum muda dalam konstalasi sejarah republik ini, sebab dari titik ini kita bisa menyimpulkan orientasi dan tindakan politiknya adalah merupakan upaya penyelesaian problem-problem pokok rakyat Indonesia. Setiap gagasan perubahan mesti memiliki orientasi dan tindakan politik yang berpihak kepada rakyat, ketiadaan orientasi dan tindakan politik yang jelas malah mengarahkan gerakan kaum muda pada ambiguitas. Sejarah Indonesia,memperlihatkan rekaman-rekaman tindakan politik mahasiswa sangat jelas keberpihakannya.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik kaum muda dalam proses dinamika sejarah Indonesia. Setidaknya untuk membuktikan, sekaligus memilah tindakan politik mana dalam patokan sejarah yang betul-betul menunjukkan bentuk perjuangan kaum muda yang genuine. Karena seperti yang di katakan oleh Bung Karno (di Bawah Bendera revolusi) bahwa gerakan mahasiswa harus lahir dari rahim ibu kandungnya sendiri: Ibu Pertiwi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik gerakan kaum muda adalah: pertama pilihan ideologi perjuangan sebagai arah/petunjuk orientasi cita-cita ideal pergerakan kaum muda. Ideologi merupakan pijakan bertindak, ibarat obor dalam kegelapan yang menuntun arah dari perjuangan kaum muda itu sendiri. Lebih jauh, pemahaman ideologis juga bermakna pemahaman teoritik dan praktek soal jalan keluar dari problem ekonomi-politik yang dialami oleh rakyat. Kedua lingkungan sosial dan politik, kalau gerakan mahasiswa tidak memiliki pijakan ideologis yang kuat maka kesadaran mereka sangat di tentukan dengan kosntalasi kehidupan sosial politik sekitarnya. Kenyataan menunjukkan kebangkitan kaum muda dan mahasiswa di dorong oleh keadaan sosial-politik di sekitarnya. Awalnya hanya dalam bentuk protes-protes kecil namun ketika di tanggapi oleh penguasa dengan represif, maka dengan cepat berubah menjadi gelombang protes sosial bahkan berubah menjadi proses revolusioner. Pengalaman Mahasiswa Korea, mahasiswa tidak menerima perlakuan aparat kepolisan terhadap demonstrasi buruh menuntut perbaikan kondisi kesejahteraan. Mahasiswa melakukan mobilisasi dan aliansi dengan pekerja, perlawanan ekonomi dan solidaritas berubah menjadi sentimen anti terhadap rejim yang diktator. Di Indonesia, Watak dan karakter rejim Orde baru yang sangat militeristik dan tidak berpihak kepada rakyat mendorong protes-protes mahasiswa. Ketika, rejim Orde Baru merespon dengan menggunakan kekerasan militer, gerakan mahasiswa berubah menjadi gerakan politik yang melibatkan massa rakyat menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Ketiga Pengalaman gerakan kaum muda di negara lain, kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1900-an banyak di stimulasi oleh kebangkitan dan kemenangan gerakan kaum muda di negara lain. Gerakan mahasiswa tahun 1966, sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Imperialis untuk menghentikan komunisme di Indonesia. Karena keberadaan PKI, yang makin kuat dalam hal politik(dekat dengan soekarno) dan mobilisasi menjadi ancaman terhadap aset-aset dan terutama kepentingan negara-negara Imperialis di Indonesia. Dan ini, bisa di buktikan dengan dokumen CIA yang baru di terbitkan soal keterlibatan CIA dalam kudeta militer di Indonesia, dimana kelompok mahasiswa menjadi salah satu agen sipilnya untuk melumpuhkan kekuasan soekarno dan kaum kiri. Itulah kenapa sastrawan Premoedya Ananta Toer tidak mau mengakui angkatan 66 sebagai salah satu stage dalam perjuangan mahasiswa.

Menimbang “Kemampuan/Capable” Kaum Muda untuk Memimpin


Argumentasi pokok dari kelompok yang tidak yakin dengan kemampuan kaum muda dalam mengambil alih kepemimpinan nasional negeri ini adalah bahwa Kaum muda sekarang sangat lemah semangat patriotismenya, dan rendah “moralitas”, dan argumentasi yang sifatnya psikologis bahwa kaum muda adalah kelompok umur yang masih labil, plin-plan, dan cenderung mengutamakan emosional. Landasan argumentasi dari alasan diatas sangat lemah dan tidak berdasarkan basis material yang jelas. (1). Bahwa sebenarnya problem bangsa sekarang adalah bukanlah problem moral, dan untuk menyelesaikannya pun bukan dengan berkhotbah soal moralitas. Malah persoalan moral sekarang sangat efektif untuk meredam dan memanipulasi kesadaran rakyat untuk mnerimo dengan situasi. Problem kebangsaan sekarang adalah problem ekonomi-politik, akibat dari pola kebijakan rejim yang berkuasa tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Kalaupun di katakan moral ini juga absurd! Karena terbukti moral generasi lebih tua tidaklah lebih baik. (2). Patriotisme tidak bisa di ukur dengan formalitas bahwa kita harus ikut ke medan perang, setia sampai akhir dengan merah putih, atau rajin upacara bendera. Patriotisme terbentuk berdasarkan lingkungan sosial dan politik pula, dan sudah barang tentu kesadaran patriotisme manifes dalam bentuk yang berbeda. Di jaman revolusi nasional, karena persoalan pokoknya adalah melawan penjajahan fisik maka bentuk manifestasi patriotismenya adalah mengangkat senjata. Di jaman sekarang, karena problem kemiskinan dan kesengsaraan datang dari bangsa sendiri maka protes dalam bentuk aksi massa yang marak hari ini adalah bentuk patriotisme baru rakyat Indonesia. (3) bahwa alasan umur ataupun perkembangan kejiwaan tidak bisa dijadikan patokan untuk ukuran seseorang “capable” atau tidak untuk memimpin. Karena sekali lagi, kepemimpinan politik hanya butuh dua syarat yakni dukungan politik yang luas dan kemampuan personal (kemampuan skill dan pemahaman ekonomi-politik). Dan menurutku syarat-syarat itu sama sekali tidak terkait dengan umur, meskipun pengalaman mempengaruhi. Seorang berumur 24 tahun belum tentu kalah cerdas dan kalah kemampuan dengan orang berumur 45 tahun.

Reformasi tahun 1998, telah menjadi investasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan kaum muda dan mahasiswa Indonesia. Kaum muda dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan pena telah berhasil merobohkan sebuah rejim yang sangat kuat dan kokoh; rejim Orde Baru. Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global[1] ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga Sidang Umum MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).[2]

Namun, meski berhasil menjatuhkan sebuah kedikatoran yang kokoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan tanpa kelemahan dan cacat. Salah satu point paling hangat diantara perdebatan yang muncul pada saat itu adalah soal kepemimpinan nasional dan bagaimana pokok-pokok tugas perjuangan mahasiswa Indonesia selanjutnya. Setidaknya perbedaan pandangan ini secara umum bisa di tarik dalam dua garis pandangan yakni gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok gerakan moral yang kebanyakan dari unsur Cipayung (HMI, PMII,GMKI, PMKRI,GMNI,IMM) dan kelompok BEM (badan Eksekutif Mahasiswa) menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Bagi mereka, tugas pokok hanyalah menjatuhkan soeharto dan setelah itu eksekusi/penyelesaian akhirnya di serahkan kepada tokoh politik/politisi. Kelompok inilah yang banyak menyokong Amien Rais, Gusdur, dan Megawati muncul dalam panggung politik paska Orde Baru. Tugas mahasiswa kembali ke kampus (Back to Campus) dan sesekali keluar ketika di butuhkan, untuk mengawal reformasi bisa berjalan konsisten. Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jatuhnya soeharto hanyalah salah satu tahapan dari perjuangan mahasiswa. Tugas selanjutnya adalah menghancurkan sisa-sisa Orde baru dan melapangkan jalan bagi terwujudnya demokrasi sejati. Untuk menciptakan prasyarat tersebut bagi kelompok gerakan politik adalah menciptakan pemerintahan transisi demokratik yang mencerminkan semua kekuatan prodemokrasi dan unsur-unsur gerakan rakyat. Usulnya beranekaragam misalnya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan konsep “Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik Kaum Muda dan Rakyat Miskin”, Forkot dengan Komite Rakyat Indonesia (KRI), dan FAMRED dengan Dewan Rakyat. Kelompok ini menolak Habibie (pengganti Soeharto) karena menurut mereka masih kelanjutan dari sistem politik Orde Baru, dan menganggap yang berubah hanya orangnya namun karakter, watak, dan cara-caranya masih kental dengan Orde Baru.

Benar, pemilu 1999 yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Habibie malah menjadi alat untuk konsolidasi kekuatan Orba. Proses reformasi yang mestinya di perdalam dan di perluas geografinya hingga kepedalaman justru ter-interupsi dengan masih kuatnya sisa-sisa Orde Baru dalam pemerintahan. Disisi lain, tokoh-tokoh reformis yang di percaya sebagian gerakan mahasiswa bisa membawa menuntaskan reformasi malah mengambil jalurnya sendiri. Pemerintahan Gusdur meskipun punya komitmen kuat mengadili Soeharto dan kroninya, namun tindakan politiknya ambigu sehingga membuat kekuatan pro-orde baru bisa mengkonsolidasikan diri dan menyusun “Impeachment” terhadap pemerintahannya. Gusdur di gantikan Megawati (di belakangnya adalah kekuatan Orde Baru), proses penuntasan reformasi semakin di tarik ke titik Nol. Megawati sejak jadi presiden sangat agressif dalam menjalan agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi impor, dan privatisasi BUMN yang berimbas pada keterpurukan ekonomi nasional. Pada titik ini, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas massa rakyat terhadap arah reformasi yang tidak berjalan konsisten. Proses politik paska reformasi pun menggelinding di lingkaran elit politik baru maupun lama, demokrasi dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan rakyat.

Saatnya Kepemimpinan Nasional di tangan Kaum Muda


Reformasi sebetulnya belumlah gagal total, karena beberapa aspek kemenangan menjatuhkan rejim orde baru, diantaranya: keterbukaan ruang demokrasi (space Of Democracy) meskipun masih dalam pengertian yang minimum masih bertahan. Menurutku disinilah letak kesalahan kaum muda dan gerakan mahasiswa paska reformasi, tidak mampu memanfaatkan ruang politik yang sedikit terbuka untuk masuk kedalam politik real dengan membawa agenda demokrasi dan program kerakyatan di dalamnya. Pemilu 1999, yang merupakan titik balik dari gerakan kaum muda dan mahasiswa justru di lewatkan begitu saja. Mayoritas kekuatan kaum muda masih menganggap arena pemilu sebagai arena yang tidak boleh di manfaatkan karena terlalu politis dan malah bisa menceburkan gerakan kaum muda dalam politik kotor. Padahal esensi mengintervensi ruang pemilu sebenarnya tidak lebih untuk menggempur dominasi politisi tua yang sudah terbukti gagal, dan mengolah ruang tersebut untuk lahirnya sebuah kekuatan politik alternatif.

Gerakan kaum muda dan mahasiswa saat ini masih di kuasai prasangka heroisme (baca;Advonturir) sehingga cenderung terjebak pada penyakit kekiri-kirian. Pandangan mendikotomikan ruang ekstra-parlementer dan parlementer adalah sebuah bentuk lain dari kesalahan gerakan mahasiswa memandang ruang politik real. Akibatnya, gejala menjadi aktivis muda dan mahasiswa hanya semasa masih muda, atau semasa menjadi mahasiswa. Setelah itu, aktivis-aktivis ini melakukan diaspora (menyebar) ke berbagai bidang pekerjaan dengan afiliasi politik yang sangat fragmentatif. Sekarang kita bisa melihat banyak mantan aktivis yang menduduki pos-pos jabatan di partai politik besar, jabatan di pemerintahan, atau ormas. Tetapi, mereka sama sekali tidak lagi merefresentasikan pandangan politik waktu semasa menjadi aktivis, karakter dan jiwanya lebih mirip dengan elit baru dalam kekuasaan.

32 tahun kekuasaan Orde baru telah menghancurkan semua tradisi politik dan gerakan yang ada dalam rakyat Indonesia termasuk kaum muda. Akibatnya tidak ada satupun organisasi pemuda yang mencerminkan kepentingan politik kaum muda, kebanyakan di isi oleh orang-orang yang segi umur bukan muda lagi. Lihat saja Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (kelahiran 16 Desember 1949), atau KNPI, BMI, GP-ANSOR, dan lain-lain kebanyakan Ormas kepemudaan tersebut di pimpin generasi tua yang meniti karir untuk partai. Organisasi yang betul-betul merefresentasikan kepentingan dan perjuangan kaum muda kebanyakan organisasi mahasiswa, namun pandangan politik mereka sangat lemah. Kebanyakan organisasi-organisasi tersebut di bentuk untuk memenuhi kepentingan partai mendapatkan konstituen di kalangan kaum muda (yang sudah bisa memilih), dan kadang-kadang di jadikan alat pertahanan (defensif Unit) untuk partai atau memukul kelompok lain.

Sebenarnya ada beberapa problem pokok gerakan kaum muda yang harus di selesaikan sebagai salah satu stage menuju konsolidasi kekuatan yang lebih kuat; pertama problem ideologi, yakni lemahnya pemahaman akan orientasi perjuangan kedepan. Kebanyakan organisasi mahasiswa dan pemuda yang ada sekarang masih di dominan pendekatan emosional, bukan pendekatan ideologis. Kedua problem organisasional, sampai saat ini belum ada organisasi pemuda mahasiswa secara nasional yang bisa menyatukan semua ormas pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, akibat pengaruh depolitisasi dan deorganisasi jaman Orde baru selama puluhan tahun, sekarang kita menyaksikan pemilahan yang kuat antara mahasiswa, pelajar (SMU), dan pemuda (non-SMU/mahasiswa). Tentunya, ini sangat menghambat pengorganisasian, dan proses kaderisasi dan penguatan ideologi perjuangan karena variasi pengetahuan. ketiga fragmentasi gerakan yang masih amat kuat di kalangan kaum muda, tidak ada upaya konsolidasi nasional yang sifatnya massal dan melibatkan semua ormas pemuda/ mahasiswa. Keempat masih sangat kaku dalam melihat momentum politik, misalnya momentum pemilu, pemilihan kepala daerah langsung (pilkada), dan lain-lain. Sehingga sangat susah untuk menemukan arena lain untuk menggusur generasi tua di luar mekanisme formal elektoral tersebut.

Bagaimana dengan perspektif kedepan? Sebenarnya situasi politik saat ini dan problem yang dialami oleh rakyat Indonesia mengharuskan kaum muda harus tampil kedepan, dengan landasan;(1) Bahwa rakyat sudah tidak percaya dengan formasi elit politik saat ini yang dinilai sudah gagal menciptakan perubahan. Krisis kepemimpinan ini jika tidak dimanfaatkan oleh kaum muda, malah bisa berbuntut oligarkhi politik, maksudnya adalah bahwa sistem politik sekarang di monopoli kekuatan tertentu yang berkuasa bukan karena dukungan rakyat melainkan karena faktor modal dan kekuasaan. (2). Ruang politik kedepan harus di manfaatkan, harus di olah oleh gerakan kaum muda, di kombinasikan dengan gerakan ekstra-parlementer(parlemen jalanan) untuk memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Menurut Alan R.Ball (1993), kumpulan pendesak merupakan agregat sosial dengan tahapan yang padu serta berkolaborasi untuk tujuan yang sama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses membuat keputusan politik. (3). Bahwa untuk kepentingan menciptakan kekuatan politik alternatif, gerakan pemuda-mahasiswa tidak perlu membentuk Partai pemuda yang isinya semua pemuda. Karena malah menyempitkan dukungan politik rakyat, lagipula tidak ada rumus perubahan dimanapun yang mengajarkan bahwa suatu sektor bisa berkuasa tanpa dukungan sektor lainnya. (4). Bahwa dalam menggagas kekuatan politik baru ini, gerakan mahasiswa dan pemuda harus membangun aliansi strategis dengan sektor rakyat yang lain seperti petani, buruh, pegawai rendahan, kaum miskin kota, pekerja seni, dan perempuan. (5) menyusun program –program perjuangan strategis yang merupakan solusi atau jalan keluar dari problem-problem pokok yang di alami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, program kita adalah menghentikan proyek neoliberalisme yang saat ini sangat massif di jalankan, menggantikannya dengan program ekonomi kerakyatan. Semaksimal mungkin program-program yang di usung mencerminkan tuntutan mendesak/darurat rakyat; seperti pendidikan dan kesehatan gratis, turunkan harga-harga, dan lain-lain.

Dalam lingkaran partai politik, berdiri Partai Pemuda Indonesia (PPI) tanggal 27 Mei 2007 oleh beberapa aktivis pemuda. Partai ini berharap menjadi saluran politik mahasiswa, pemuda dan pelajar dalam pemilu 2009. Namun, jelas orientasi dan tindakan politiknya tidak mencerminkan muara perjuangan politik kaum muda karena miskin program, konsep, dan pengalaman bersentuhan dengan gerakan mahasiswa dan rakyat. Berbeda hal dengan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang diinisiatif oleh partai pemuda dan mahasiswa radikal dalam menggulingkan Soeharto yakni Partai Rakyat Demokratik(PRD). Papernas memproyeksikan program-programnya untuk menyelesaikan problem-problem rakyat indonesia, yang menurut aktivisnya di sebabkan oleh imperialisme. Geliat kaum muda mulai kelihatan, setidaknya ini adalah langkah maju untuk mengkonkretkan wacana bahwa “Sudah Saatnya Kaum Muda Yang Memimpin”.