Sabtu, 15 Desember 2007

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

Republik di Ujung Tanduk: Saatnya Kaum Muda Memimpin!

“Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali angkatan 66.”
(Pramudya Ananta Toer)

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan, di berbagai belahan dunia, kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan. Gerakan pembebasan nasional di turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Dalam sejarah Indonesia sendiri, pelajar terdidik di Negeri belanda pertama kali mencetuskan konsep nasionalisme Indonesia dalam program perjuangannya. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Perancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda tidak boleh diremehkan, apalagi mencoretnya dalam proses penulisan sejarah.

Di Indonesia, wacana kepemimpinan kaum muda menimbulkan persilangan pendapat, yang terkadang perdebatan itu tidak berdasarkan logika berpikir ilmiah, dan objektif. Lihat saja, argumentasi beberapa kelompok yang tidak menghendaki kepemimpinan kaum Muda, menuduh bahwa sektor masyarakat yang satu ini tidak pantas untuk memimpin republik. Umumnya, kelompok penentang menganggap bahwa generasi muda Indonesia saat ini memiliki sentimen nasionalisme yang rendah, patriotisme yang kendor, dan moral yang rusak. Sedangkan dari kelompok pemuda sendiri, yang di motori oleh aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda menilai bahwa wacana kepemimpinan kaum muda adalah mungkin. Apalagi jika di letakkan dalam perkembangan situasi nasional sekarang, panggung politik nasional diisi oleh tokoh-tokoh tua yang sudah tidak capable untuk memimpin negeri ini. Kepemimpinan nasional sekarang yang masih di dominasi oleh tokoh tua tidak memberikan perspektif perubahan, malah semakin menyeret bangsa Indonesia dalam situasi nasional yang memprihatinkan; kemiskinan, korupsi, kelaparan, pengangguran, diskriminasi, dan kediktatoran.

Namun, perlu kiranya kita membongkar sesat pikir generasi tua Indonesia saat ini yang meremehkan kepemimpinan kaum muda dengan membuka kembali dokumen sejarah tidak tertulis, teori-teori, dan gagasan kaum muda yang relevan dalam perdebatan Ini.

Sejarah Indonesia adalah Sejarah Kaum Muda


Sejarah tidak di tentukan oleh Massa tetapi oleh tokoh, teriak Karl Manhein. Dengan logika berpikir seperti ini maka penulisan sejarah lebih berorientasikan patriotisme/heroisme individual, biography sang tokoh, dan sangat meminimumkan peranan massa. Jika sejarah adalah mulut yang bisa meludah, mungkin dia akan meludahi muka Karl Manhein yang telah mengambil kesimpulan salah tersebut. Sebenarnya sejarah adalah totalitas perkembangan masyarakat, dalam berbagai aspek tergantung mana yang menjadi fokus pengamatan kita. Namun, jika di analisa perkembangan masyarakat sejarah detail, maka akan diketemukan bahwa pikiran maju dan kehendak massalah yang telah menjadi motor utama pergerakan sejarah. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 merupakan salah satu stage dari perjalanan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membebaskan bangsanya. Boleh dikatakan bahwa kaum mudalah sebagai sang pelopor, bahkan karena semakin menonjol, Benedict Anderson(1972) menyimpulkan bahwa jiwa revolusi indonesia adalah kaum muda.

Contoh paling konkret soal kepeloporan kaum muda dalam masa awal revolusi adalah peristiwa rengasdengklok yang melahirkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh perbedaan pendapat antara tokoh muda dan tokoh tua soal kemerdekaan Indonesia. Bagi tokoh muda yang sebagian besar dari kelompok Asrama Menteng 31, bahwa kemerdekaan Indonesia haruslah hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Jepang. Bagi kaum Muda, kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur raya dan pasifik adalah ruang terbuka untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan bagi tokoh tua, dalam hal ini Soekarno-Hatta bahwa “kita tidak boleh gegabah dengan mengambil tindakan radikal melawan pemerintah Jepang, dan lebih baik menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, lewat Lembaga PPKI dan BPUKI. Kaum muda kemudian menculik Soekarno, dibawa kesebuah tempat bernama rengasdengklok, di tempat itu kaum muda meminta Soekarno (atas nama bangsa Indonesia) agar segera membacakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kejadian diatas di minimalkan, dan dikaburkan dalam penulisan sejarah Indonesia sekarang. Sehingga, banyak orang tua yang lupa bahwa sebenarnya bangsa dan negara yang bernama Indonesia, yang merayakan kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus adalah merupakan hasil perjuangan kaum muda.

Sangat penting melihat posisi kaum muda dalam konstalasi sejarah republik ini, sebab dari titik ini kita bisa menyimpulkan orientasi dan tindakan politiknya adalah merupakan upaya penyelesaian problem-problem pokok rakyat Indonesia. Setiap gagasan perubahan mesti memiliki orientasi dan tindakan politik yang berpihak kepada rakyat, ketiadaan orientasi dan tindakan politik yang jelas malah mengarahkan gerakan kaum muda pada ambiguitas. Sejarah Indonesia,memperlihatkan rekaman-rekaman tindakan politik mahasiswa sangat jelas keberpihakannya.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik kaum muda dalam proses dinamika sejarah Indonesia. Setidaknya untuk membuktikan, sekaligus memilah tindakan politik mana dalam patokan sejarah yang betul-betul menunjukkan bentuk perjuangan kaum muda yang genuine. Karena seperti yang di katakan oleh Bung Karno (di Bawah Bendera revolusi) bahwa gerakan mahasiswa harus lahir dari rahim ibu kandungnya sendiri: Ibu Pertiwi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi dan tindakan politik gerakan kaum muda adalah: pertama pilihan ideologi perjuangan sebagai arah/petunjuk orientasi cita-cita ideal pergerakan kaum muda. Ideologi merupakan pijakan bertindak, ibarat obor dalam kegelapan yang menuntun arah dari perjuangan kaum muda itu sendiri. Lebih jauh, pemahaman ideologis juga bermakna pemahaman teoritik dan praktek soal jalan keluar dari problem ekonomi-politik yang dialami oleh rakyat. Kedua lingkungan sosial dan politik, kalau gerakan mahasiswa tidak memiliki pijakan ideologis yang kuat maka kesadaran mereka sangat di tentukan dengan kosntalasi kehidupan sosial politik sekitarnya. Kenyataan menunjukkan kebangkitan kaum muda dan mahasiswa di dorong oleh keadaan sosial-politik di sekitarnya. Awalnya hanya dalam bentuk protes-protes kecil namun ketika di tanggapi oleh penguasa dengan represif, maka dengan cepat berubah menjadi gelombang protes sosial bahkan berubah menjadi proses revolusioner. Pengalaman Mahasiswa Korea, mahasiswa tidak menerima perlakuan aparat kepolisan terhadap demonstrasi buruh menuntut perbaikan kondisi kesejahteraan. Mahasiswa melakukan mobilisasi dan aliansi dengan pekerja, perlawanan ekonomi dan solidaritas berubah menjadi sentimen anti terhadap rejim yang diktator. Di Indonesia, Watak dan karakter rejim Orde baru yang sangat militeristik dan tidak berpihak kepada rakyat mendorong protes-protes mahasiswa. Ketika, rejim Orde Baru merespon dengan menggunakan kekerasan militer, gerakan mahasiswa berubah menjadi gerakan politik yang melibatkan massa rakyat menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Ketiga Pengalaman gerakan kaum muda di negara lain, kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia di tahun 1900-an banyak di stimulasi oleh kebangkitan dan kemenangan gerakan kaum muda di negara lain. Gerakan mahasiswa tahun 1966, sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Imperialis untuk menghentikan komunisme di Indonesia. Karena keberadaan PKI, yang makin kuat dalam hal politik(dekat dengan soekarno) dan mobilisasi menjadi ancaman terhadap aset-aset dan terutama kepentingan negara-negara Imperialis di Indonesia. Dan ini, bisa di buktikan dengan dokumen CIA yang baru di terbitkan soal keterlibatan CIA dalam kudeta militer di Indonesia, dimana kelompok mahasiswa menjadi salah satu agen sipilnya untuk melumpuhkan kekuasan soekarno dan kaum kiri. Itulah kenapa sastrawan Premoedya Ananta Toer tidak mau mengakui angkatan 66 sebagai salah satu stage dalam perjuangan mahasiswa.

Menimbang “Kemampuan/Capable” Kaum Muda untuk Memimpin


Argumentasi pokok dari kelompok yang tidak yakin dengan kemampuan kaum muda dalam mengambil alih kepemimpinan nasional negeri ini adalah bahwa Kaum muda sekarang sangat lemah semangat patriotismenya, dan rendah “moralitas”, dan argumentasi yang sifatnya psikologis bahwa kaum muda adalah kelompok umur yang masih labil, plin-plan, dan cenderung mengutamakan emosional. Landasan argumentasi dari alasan diatas sangat lemah dan tidak berdasarkan basis material yang jelas. (1). Bahwa sebenarnya problem bangsa sekarang adalah bukanlah problem moral, dan untuk menyelesaikannya pun bukan dengan berkhotbah soal moralitas. Malah persoalan moral sekarang sangat efektif untuk meredam dan memanipulasi kesadaran rakyat untuk mnerimo dengan situasi. Problem kebangsaan sekarang adalah problem ekonomi-politik, akibat dari pola kebijakan rejim yang berkuasa tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Kalaupun di katakan moral ini juga absurd! Karena terbukti moral generasi lebih tua tidaklah lebih baik. (2). Patriotisme tidak bisa di ukur dengan formalitas bahwa kita harus ikut ke medan perang, setia sampai akhir dengan merah putih, atau rajin upacara bendera. Patriotisme terbentuk berdasarkan lingkungan sosial dan politik pula, dan sudah barang tentu kesadaran patriotisme manifes dalam bentuk yang berbeda. Di jaman revolusi nasional, karena persoalan pokoknya adalah melawan penjajahan fisik maka bentuk manifestasi patriotismenya adalah mengangkat senjata. Di jaman sekarang, karena problem kemiskinan dan kesengsaraan datang dari bangsa sendiri maka protes dalam bentuk aksi massa yang marak hari ini adalah bentuk patriotisme baru rakyat Indonesia. (3) bahwa alasan umur ataupun perkembangan kejiwaan tidak bisa dijadikan patokan untuk ukuran seseorang “capable” atau tidak untuk memimpin. Karena sekali lagi, kepemimpinan politik hanya butuh dua syarat yakni dukungan politik yang luas dan kemampuan personal (kemampuan skill dan pemahaman ekonomi-politik). Dan menurutku syarat-syarat itu sama sekali tidak terkait dengan umur, meskipun pengalaman mempengaruhi. Seorang berumur 24 tahun belum tentu kalah cerdas dan kalah kemampuan dengan orang berumur 45 tahun.

Reformasi tahun 1998, telah menjadi investasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan kaum muda dan mahasiswa Indonesia. Kaum muda dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan pena telah berhasil merobohkan sebuah rejim yang sangat kuat dan kokoh; rejim Orde Baru. Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global[1] ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga Sidang Umum MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).[2]

Namun, meski berhasil menjatuhkan sebuah kedikatoran yang kokoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan tanpa kelemahan dan cacat. Salah satu point paling hangat diantara perdebatan yang muncul pada saat itu adalah soal kepemimpinan nasional dan bagaimana pokok-pokok tugas perjuangan mahasiswa Indonesia selanjutnya. Setidaknya perbedaan pandangan ini secara umum bisa di tarik dalam dua garis pandangan yakni gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok gerakan moral yang kebanyakan dari unsur Cipayung (HMI, PMII,GMKI, PMKRI,GMNI,IMM) dan kelompok BEM (badan Eksekutif Mahasiswa) menganggap bahwa tugas gerakan mahasiswa telah selesai. Bagi mereka, tugas pokok hanyalah menjatuhkan soeharto dan setelah itu eksekusi/penyelesaian akhirnya di serahkan kepada tokoh politik/politisi. Kelompok inilah yang banyak menyokong Amien Rais, Gusdur, dan Megawati muncul dalam panggung politik paska Orde Baru. Tugas mahasiswa kembali ke kampus (Back to Campus) dan sesekali keluar ketika di butuhkan, untuk mengawal reformasi bisa berjalan konsisten. Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jatuhnya soeharto hanyalah salah satu tahapan dari perjuangan mahasiswa. Tugas selanjutnya adalah menghancurkan sisa-sisa Orde baru dan melapangkan jalan bagi terwujudnya demokrasi sejati. Untuk menciptakan prasyarat tersebut bagi kelompok gerakan politik adalah menciptakan pemerintahan transisi demokratik yang mencerminkan semua kekuatan prodemokrasi dan unsur-unsur gerakan rakyat. Usulnya beranekaragam misalnya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan konsep “Pemerintahan Koalisi Oposisi Demokratik Kaum Muda dan Rakyat Miskin”, Forkot dengan Komite Rakyat Indonesia (KRI), dan FAMRED dengan Dewan Rakyat. Kelompok ini menolak Habibie (pengganti Soeharto) karena menurut mereka masih kelanjutan dari sistem politik Orde Baru, dan menganggap yang berubah hanya orangnya namun karakter, watak, dan cara-caranya masih kental dengan Orde Baru.

Benar, pemilu 1999 yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Habibie malah menjadi alat untuk konsolidasi kekuatan Orba. Proses reformasi yang mestinya di perdalam dan di perluas geografinya hingga kepedalaman justru ter-interupsi dengan masih kuatnya sisa-sisa Orde Baru dalam pemerintahan. Disisi lain, tokoh-tokoh reformis yang di percaya sebagian gerakan mahasiswa bisa membawa menuntaskan reformasi malah mengambil jalurnya sendiri. Pemerintahan Gusdur meskipun punya komitmen kuat mengadili Soeharto dan kroninya, namun tindakan politiknya ambigu sehingga membuat kekuatan pro-orde baru bisa mengkonsolidasikan diri dan menyusun “Impeachment” terhadap pemerintahannya. Gusdur di gantikan Megawati (di belakangnya adalah kekuatan Orde Baru), proses penuntasan reformasi semakin di tarik ke titik Nol. Megawati sejak jadi presiden sangat agressif dalam menjalan agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi impor, dan privatisasi BUMN yang berimbas pada keterpurukan ekonomi nasional. Pada titik ini, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas massa rakyat terhadap arah reformasi yang tidak berjalan konsisten. Proses politik paska reformasi pun menggelinding di lingkaran elit politik baru maupun lama, demokrasi dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan rakyat.

Saatnya Kepemimpinan Nasional di tangan Kaum Muda


Reformasi sebetulnya belumlah gagal total, karena beberapa aspek kemenangan menjatuhkan rejim orde baru, diantaranya: keterbukaan ruang demokrasi (space Of Democracy) meskipun masih dalam pengertian yang minimum masih bertahan. Menurutku disinilah letak kesalahan kaum muda dan gerakan mahasiswa paska reformasi, tidak mampu memanfaatkan ruang politik yang sedikit terbuka untuk masuk kedalam politik real dengan membawa agenda demokrasi dan program kerakyatan di dalamnya. Pemilu 1999, yang merupakan titik balik dari gerakan kaum muda dan mahasiswa justru di lewatkan begitu saja. Mayoritas kekuatan kaum muda masih menganggap arena pemilu sebagai arena yang tidak boleh di manfaatkan karena terlalu politis dan malah bisa menceburkan gerakan kaum muda dalam politik kotor. Padahal esensi mengintervensi ruang pemilu sebenarnya tidak lebih untuk menggempur dominasi politisi tua yang sudah terbukti gagal, dan mengolah ruang tersebut untuk lahirnya sebuah kekuatan politik alternatif.

Gerakan kaum muda dan mahasiswa saat ini masih di kuasai prasangka heroisme (baca;Advonturir) sehingga cenderung terjebak pada penyakit kekiri-kirian. Pandangan mendikotomikan ruang ekstra-parlementer dan parlementer adalah sebuah bentuk lain dari kesalahan gerakan mahasiswa memandang ruang politik real. Akibatnya, gejala menjadi aktivis muda dan mahasiswa hanya semasa masih muda, atau semasa menjadi mahasiswa. Setelah itu, aktivis-aktivis ini melakukan diaspora (menyebar) ke berbagai bidang pekerjaan dengan afiliasi politik yang sangat fragmentatif. Sekarang kita bisa melihat banyak mantan aktivis yang menduduki pos-pos jabatan di partai politik besar, jabatan di pemerintahan, atau ormas. Tetapi, mereka sama sekali tidak lagi merefresentasikan pandangan politik waktu semasa menjadi aktivis, karakter dan jiwanya lebih mirip dengan elit baru dalam kekuasaan.

32 tahun kekuasaan Orde baru telah menghancurkan semua tradisi politik dan gerakan yang ada dalam rakyat Indonesia termasuk kaum muda. Akibatnya tidak ada satupun organisasi pemuda yang mencerminkan kepentingan politik kaum muda, kebanyakan di isi oleh orang-orang yang segi umur bukan muda lagi. Lihat saja Yapto Suryosumarno tokoh Pemuda Pancasila (kelahiran 16 Desember 1949), atau KNPI, BMI, GP-ANSOR, dan lain-lain kebanyakan Ormas kepemudaan tersebut di pimpin generasi tua yang meniti karir untuk partai. Organisasi yang betul-betul merefresentasikan kepentingan dan perjuangan kaum muda kebanyakan organisasi mahasiswa, namun pandangan politik mereka sangat lemah. Kebanyakan organisasi-organisasi tersebut di bentuk untuk memenuhi kepentingan partai mendapatkan konstituen di kalangan kaum muda (yang sudah bisa memilih), dan kadang-kadang di jadikan alat pertahanan (defensif Unit) untuk partai atau memukul kelompok lain.

Sebenarnya ada beberapa problem pokok gerakan kaum muda yang harus di selesaikan sebagai salah satu stage menuju konsolidasi kekuatan yang lebih kuat; pertama problem ideologi, yakni lemahnya pemahaman akan orientasi perjuangan kedepan. Kebanyakan organisasi mahasiswa dan pemuda yang ada sekarang masih di dominan pendekatan emosional, bukan pendekatan ideologis. Kedua problem organisasional, sampai saat ini belum ada organisasi pemuda mahasiswa secara nasional yang bisa menyatukan semua ormas pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, akibat pengaruh depolitisasi dan deorganisasi jaman Orde baru selama puluhan tahun, sekarang kita menyaksikan pemilahan yang kuat antara mahasiswa, pelajar (SMU), dan pemuda (non-SMU/mahasiswa). Tentunya, ini sangat menghambat pengorganisasian, dan proses kaderisasi dan penguatan ideologi perjuangan karena variasi pengetahuan. ketiga fragmentasi gerakan yang masih amat kuat di kalangan kaum muda, tidak ada upaya konsolidasi nasional yang sifatnya massal dan melibatkan semua ormas pemuda/ mahasiswa. Keempat masih sangat kaku dalam melihat momentum politik, misalnya momentum pemilu, pemilihan kepala daerah langsung (pilkada), dan lain-lain. Sehingga sangat susah untuk menemukan arena lain untuk menggusur generasi tua di luar mekanisme formal elektoral tersebut.

Bagaimana dengan perspektif kedepan? Sebenarnya situasi politik saat ini dan problem yang dialami oleh rakyat Indonesia mengharuskan kaum muda harus tampil kedepan, dengan landasan;(1) Bahwa rakyat sudah tidak percaya dengan formasi elit politik saat ini yang dinilai sudah gagal menciptakan perubahan. Krisis kepemimpinan ini jika tidak dimanfaatkan oleh kaum muda, malah bisa berbuntut oligarkhi politik, maksudnya adalah bahwa sistem politik sekarang di monopoli kekuatan tertentu yang berkuasa bukan karena dukungan rakyat melainkan karena faktor modal dan kekuasaan. (2). Ruang politik kedepan harus di manfaatkan, harus di olah oleh gerakan kaum muda, di kombinasikan dengan gerakan ekstra-parlementer(parlemen jalanan) untuk memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Menurut Alan R.Ball (1993), kumpulan pendesak merupakan agregat sosial dengan tahapan yang padu serta berkolaborasi untuk tujuan yang sama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses membuat keputusan politik. (3). Bahwa untuk kepentingan menciptakan kekuatan politik alternatif, gerakan pemuda-mahasiswa tidak perlu membentuk Partai pemuda yang isinya semua pemuda. Karena malah menyempitkan dukungan politik rakyat, lagipula tidak ada rumus perubahan dimanapun yang mengajarkan bahwa suatu sektor bisa berkuasa tanpa dukungan sektor lainnya. (4). Bahwa dalam menggagas kekuatan politik baru ini, gerakan mahasiswa dan pemuda harus membangun aliansi strategis dengan sektor rakyat yang lain seperti petani, buruh, pegawai rendahan, kaum miskin kota, pekerja seni, dan perempuan. (5) menyusun program –program perjuangan strategis yang merupakan solusi atau jalan keluar dari problem-problem pokok yang di alami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, program kita adalah menghentikan proyek neoliberalisme yang saat ini sangat massif di jalankan, menggantikannya dengan program ekonomi kerakyatan. Semaksimal mungkin program-program yang di usung mencerminkan tuntutan mendesak/darurat rakyat; seperti pendidikan dan kesehatan gratis, turunkan harga-harga, dan lain-lain.

Dalam lingkaran partai politik, berdiri Partai Pemuda Indonesia (PPI) tanggal 27 Mei 2007 oleh beberapa aktivis pemuda. Partai ini berharap menjadi saluran politik mahasiswa, pemuda dan pelajar dalam pemilu 2009. Namun, jelas orientasi dan tindakan politiknya tidak mencerminkan muara perjuangan politik kaum muda karena miskin program, konsep, dan pengalaman bersentuhan dengan gerakan mahasiswa dan rakyat. Berbeda hal dengan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang diinisiatif oleh partai pemuda dan mahasiswa radikal dalam menggulingkan Soeharto yakni Partai Rakyat Demokratik(PRD). Papernas memproyeksikan program-programnya untuk menyelesaikan problem-problem rakyat indonesia, yang menurut aktivisnya di sebabkan oleh imperialisme. Geliat kaum muda mulai kelihatan, setidaknya ini adalah langkah maju untuk mengkonkretkan wacana bahwa “Sudah Saatnya Kaum Muda Yang Memimpin”.

Kamis, 25 Oktober 2007

Che Guevara, Si Bung dari Latin


Ia bertualang dari satu negara ke negara lain. Semangat kepahlawan dan keteguhan prinsipnya menjadi simbol perlawanan kaum marjinal terhadap kapitalis. Berbicara tentang revolusi di Tanah Latin, tidak dapat dipungkiri nama Che Guevara menjadi legenda abadi. Kisah kepahlawanan tokoh kharismatis ini terus diceritakan turun temurun dari mulut ke mulut. Bukan hanya di tanah kelahirannya di Rosario, Argentina, namun terus menyebar ke sekujur Bumi, mulai dari pengayuh Gondola di Venice, sampai penyanyi punk di sudut pertokoan Dago di Bandung, Indonesia. Guevara tersohor lantaran menyerukan revolusi yang permanen, revolusi yang menyentuh semua batas. Hampir dari separuh hidupnya, Guevara membaktikan diri untuk perjuangan yang dianggapnya sebagai pembebasan demi kebangkitan gerakan revolusioner di Amerika Latin.

Ernesto Guevara de la Serna, demikian nama lengkapnya, lahir pada 14 Mei 1928 dari sebuah keluarga kelas menengah di Rosario, kota terpenting kedua Argentina setelah Buenos Aires. Guevara lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna. Bertualang dengan ‘Moge’ Jiwa revolusioner Guevara mulai terpupuk ketika pada 1949 ia melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara dengan bersepeda motor. “Saya ingin melihat banyak hal. Saya akan melakukan perjalanan mengelilingi Argentina, saya kan kembali dalam waktu tiga bulan, saat sekolah dimulai,” kata dia pada ayahnya sebelum ia melakukan perjalanan. Sang ayah yang sebetulnya keturunan bangsawan bukannya melarang, malah amat mendukung tekad Guevara. “Saya selalu mengizinkan untuk melakukan penelitian, penggalian, dan berusaha menemukan banyak hal untuk dirinya sendiri, sehingga dia bisa menjadi seorang laki-laki,” kata sang ayah dengan bijak, seperti yang dikutip dari buku Mi Hijo el Che (Che Anakku) karya Ernesto Guevara Lynch. Itulah untuk pertama kali Guevara bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian.

Dengan umur yang begitu belia, jiwa penjelajahan, dan rasa ingin tahu dalam diri Guevara berkembang. Penjelajahan Guevara nantinya akan sangat berpengaruh bagi karakter perjuangannya. Dari perjalanan itu, Guevara banyak bergaul dengan petani, dan tak sungkan membantu memanen hasil ladang mereka. Tidaklah heran bila di kemudian hari, Guevara acap mengidentikkan dirinya pada kaum tertindas. Kendati ia sempat mengecap bangku kuliah di bidang kedokteran di Universiti Buenos Aires pada 1948, tapi agaknya Guevara lebih doyan bertualang ketimbang mementingkan pendidikannya. Dan tiga tahun setelah penjelajahan di Argentina Utara, Guevara mengelilingi Amerika Latin menunggangi moge (motor gede) bersama sahabatnya Alberto Granado. Perjalanan yang berlangsung sejak Januari sampai Juli 1952 itu diawali dengan mengunjungi Peru, Kolombia, lantas Venezuela. Di Peru ia bekerja di koloni penderita kusta, ilmu yang ia kuasai dari fakultas kedokteran tempat ia pernah kuliah. Ia bekerja beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, Peru. Guevara juga bertemu Salvador Allende. Di Venezuela bernasib apes. Ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali. Guevara pun sempat mengunjungi Miami, kota tempat bermukimnya imigran asal Kuba. Guevara mengisahkan perjalanannya yang dramatis dan romantis tersebut dalam buku harian yang kelak dibukukan dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries). Saat revolusi nasional pecah di Argentina, Guevara hijrah ke La Paz, Bolivia. Namun ia dicurigai sebagai oportunis oleh kalangan revolusioner Bolivia karena ketidakjelasan prinsip politiknya. Guevara memutuskan hengkang dari Bolivia dan melanjutkan perjalanan ke Guatemala yang ketika itu dipimpin Jacobs Arbens. Sedikit demi sedikit, Guevara membangun keyakinannya berdasarkan Marxisme dan sosialisme. Meskipun begitu Guevara ogah bergabung dalam Partai Komunis.

Di Guatemala, Guevara tinggal bersama Hilda Gadea, aktivis penganut paham Marxis keturunan Indian. Lewat Hilda, Guevara diperkenalkan kepada Nico Lopez, salah satu letnan dari kelompok Fidel Castro (kelak menjadi pemimpin Kuba), revolusioner Kuba yang tinggal di pengasingan. Sedikit banyak Guevara berpartisipasi dalam memajukan revolusi Guatemala. Memang situasi politik di Guatemala saat itu sedang naik turun. Aksi nasionalisasi perusahaan United Fruit Company (UFC) yang dilakukan pemerintah Arbens menyebabkan reaksi balik dari perusahaan Amerika Serikat tersebut. UFC merekrut serdadu bayaran yang dilatih CIA, pimpinan Kolonel Carlos Castillo Armas. Pasukan ini menyerbu jantung ibu kota Guatemala. Pecahlah konflik antara pasukan pemerintah Jacobs Arbens dengan tentara sewaan UFC. Di situlah paradigma Guevara tentang AS terbentuk. Ia menganggap agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan ia semakin yakin, bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan.

Hijrah ke Mexico Akhirnya pada 27 Juni Presiden Jacobs Arbenz meletakkan jabatan. Dengan kata lain “kudeta” tentara bayaran pimpinan Armas yang dibekingi CIA berhasil memaksanya turun dari tampuk kepemimpinan. Pada Agustus di tahun yang sama tentara bayaran itu memasuki Guatemala City dan membantai pendukung rezim Arbenz. Melihat situasi yang semakin buruk dan membahayakan posisinya, Guevara meminta perlindungan politik ke Kedutaan Besar Argentina, lantaran ia sendiri masih tercatat sebagai warga negara Argentina. Setahun selepas Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Mexico City. Di sini ia meretas jalan sebagai pejuang revolusioner, dan bertemu kembali dengan Nico Lopez, yang kebetulan tengah berada di Negeri Sombrero tersebut. Lopez mempertemukan Guevara dengan Raul Castro, adik kandung Fidel Castro. Pertemuan ini menjadi titik balik kehidupan Guevara sebagai gerilyawan revolusioner. Nun jauh di sana, beberapa ribu kilometer dari Guatemala, Fidel Castro beserta para pejuang Moncada yang masih hidup dibebaskan dari bui oleh pemerintah Kuba pada pertengahan Juni 1955, lantaran tekanan publik yang gencar. Tiga pekan kemudian, Castro tiba di Meksiko dengan tujuan mengorganisir ekspedisi bersenjata ke Kuba. Castro merasa situasi Kuba tidak memungkinkan untuk membangun basis perlawanan, apalagi rezim Batista yang saat itu berkuasa di Kuba masih terlalu kuat.

Sekitar Juli-Agustus Guevara bertemu Castro. Guevara pun turut bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba ini dilatih perang gerilya secara profesional dan spartan oleh Alberto Bayo, serdadu berpangkat kapten dari Spanyol. Guevara selanjutnya terlibat dalam latihan perang gerilya, sehingga pejuang Kuba menggelarinya “Che” sebutan salam khas Argentina. Pertemuannya dengan Fidel Castro dan juga para emigran politik lainnya, membuat Guevara sadar bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari. Pemimpin yang mempunyai daya revolusioner dalam semangat dan perlawanannya. “ ....ketika sosialisme masih berupa benih, manusia adalah faktor dasar. Kami percaya penuh kepadanya—seorang individu, khusus dengan nama lengkapnya, Fidel Castro....,” kata Guevara pada suatu ketika dalam salah satu tulisannya. Pertemuan ini, kemudian dicatat sejarah sebagai awal terjalinnya duet pejuang revolusi Amerika Latin yang berpijak pada Marxisme. Che dan Castro ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam satu tautan ideologi, sosialisme dan Marxisme. Ketika Castro dan pengikutnya menyerbu Kuba pada Juni 1956, Guevara awalnya hanya diikutkan sebagai dokter, namun kemudian ia didaulat sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Che Guevara dianggap tokoh yang paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dalam menyusupkan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga orang yang berdisiplin, dan tidak sungkan menembak prajurit yang ceroboh. Di arena ini ia meraih reputasi atas kekejamannya ketika dengan dingin mengeksekusi para pendukung fanatik Presiden Batista yang terguling.

Ketika revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba, yang bertanggung jawab menggiring Castro menuju komunisme merdeka bukan lagi komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya.Pada 1965, Guevara meninggalkan Kuba untuk terlibat ldalam perjuangan revolusioner internasional. Ia mengembara sampai ke Afrika dan akhirnya ikut berperang di Kongo. Setahun berselang, Guevara masuk ke Bolivia, sekali lagi dengan gagasan mengorganisir pemberontakan dan berharap menjatuhkan pemerintahan militer Bolivia yang pro AS dan memasang pemerintahan komunis di sana. Namun nasib berkata lain. Pada 8 Oktober 1965 di dekat Vallegrande, Guevara tertangkap oleh pihak militer Bolivia. Atas perintah Presiden Bolivia Barrientos, Che dieksekusi mati. Selepas kematiannya, sosok Guevara bukannya tenggelam, malah figurnya semakin kuat, dan menjadi simbol perlawanan terhadap praktik penindasan sistem kapitalis yang dikuasai Barat.

Rabu, 10 Oktober 2007

13 Juta Anak Kelaparan dan 100 Juta Orang Miskin !


13 Juta Anak Kelaparan dan 100 Juta Orang Miskin !

Di tengah-tengah banjirnya berita-berita tentang korupsi di negeri kita, yang di antaranya ada yang meliputi jumlah sampai triliunan atau ratusan miliar Rupiah, dan banyaknya kasus penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, pengusaha-pengusaha besar dll dll, maka ada berita yang bisa membikin banyak orang kaget, atau marah, atau tercengang. Berita ini adalah yang menyatakan bahwa 13 juta anak-anak Indonesia menderita kelaparan karena kekurangan makanan !!!. (tanda seru tiga kali)

Menurut harian Suara Pembaruan tanggal 11 Juli 2007, Badan Dunia yang menangani masalah pangan, World Food Programme (WFP) memperkirakan, anak Indonesia yang menderita kelaparan akibat kekurangan pangan saat ini berjumlah 13 juta orang. Direktur Regional Asia WFP, Anthony Banbury, mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan itu tersebar di berbagai tempat di Tanah Air khususnya di tiga kawasan, yakni perkotaan, daerah konflik, dan daerah rawan bencana.

Ketika membaca berita yang macam ini, sungguh, wajarlah kiranya kalau banyak orang bertanya dengan berang dan teriak keras: “Mengapa bisa terjadi yang begini ini di negeri kita yang dikatakan orang sebagai negeri kaya ?” Dan, juga, sepatutnyalah kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa adanya 13 juta anak-anak Indonesia yang kelaparan itu membikin kita semua bertanya-tanya : apa sajakah yang tidak beres di negara kita? Dan siapa-siapa sajakah yang bersalah dan harus bertanggungjawab?

Kelaparan dan Kemiskinan

Banyaknya anak-anak yang kelaparan (mohon diperhatikan: 13 juta anak itu tidak sedikit!) agaknya mengharuskan kita semua untuk peduli atau peka-rasa terhadap keadaan yang menyedihkan bangsa ini. Sebab, anak-anak yang kelaparan itu pada umumnya juga mengalami berbagai macam penderitaaan lainnya lagi yang menyedihkan. Kalau untuk makan saja sudah kekurangan, maka tentu saja, akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan lain-lainnya untuk bisa hidup biasa. Anak-anak ini, biasanya kemudian menderita kurang gizi, kurang vitamin, mudah kejangkitan penyakit, sulit sekolah, tidak bisa belajar baik, tidak bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya dll dll. Jelaslah bahwa berbagai akibat amat negatif ini merupakan kerugian besar bagi generasi bangsa yang akan datang.

Apalagi, keadaan negara dan bangsa kita yang menyedihkan dengan adanya kelaparan anak-anak yang begitu besar jumlahnya itu diperburuk lagi oleh besarnya jumlah penduduk yang miskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa. Bagi kalangan pengamat, data kemiskinan BPS ini bertentangan dengan realitas (Media Indonesia, 4 Juli 2007).

Sedangkan menurut laporan Australia-Indonesia Partnership (Juli 2004) “Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta rawan terhadap kemiskinan. Pada tahun 2002, Bank Dunia memperkirakan 53% penduduk atau sekitar 111 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan standar internasional yaitu US$ 2 per hari. Kemiskinan bukan hanya sekedar masalah pendapatan dan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak memadai. Banyak penduduk miskin dan kurang mampu belum memiliki akses ke pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup. Sekitar 25 juta penduduk Indonesia buta huruf. Hampir 50 juta jiwa menderita gangguan kesehatan, sementara jumlah yang sama tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan. Banyak komunitas tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai seperti penyediaan air bersih, sanitasi, transportasi, jalan raya dan listrik. Persepsi bias terhadap perempuan masih berlaku, sementara konflik sosial dan agama serta bencana alam telah menyebabkan jutaan penduduk mengungsi dan terjerumus ke lembah kemiskinan atau sangat rawan akan kemiskinan” (kutipan laporan selesai).

Terburuk dalam 36 Tahun terakhir!

Keadaan negara yang sangat buruk dewasa ini juga telah dipaparkan oleh Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR sebagai berikut : « Kondisi masyarakat Indonesia saat ini merupakan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir. Hal itu dilihat dari melonjaknya angka kemiskinan serta meledaknya angka pengangguran, yang bila tak segera diatasi akan menjadi masalah besar bangsa, » katanya dalam makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 di Medan, Dia mengatakan, seiring dengan melonjaknya angka kemiskinan, angka pengangguran juga makin meledak. Tahun 2004, pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 9,7 persen, sementara tahun 2005 meningkat menjadi 10,3 persen.

"Akibat parahnya kesulitan ekonomi, pengangguran diperkirakan meningkat menjadi 11,1 persen tahun 2006. Bila ditotal dengan seluruh jenis pengangguran di Indonesia tahun 2006 diperkirakan mencapai 41 persen atau lebih dari 40 juta orang," katanya. (Antara News, 7 Juli 2007)

Dengan melihat angka-angka 13 juta anak-anak kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang hidup dengan kurang dari $ 2 sehari, serta sekitar 40 juta orang menganggur, maka jelas bahwa kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini adalah buruk sekali, bahkan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir !

Perlu Gerakan Moral untuk “Membrontak”!

Mengingat keadaan yang sangat menyedihkan demikian ini, maka terasa perlu sekali adanya gerakan moral yang dilancarkan oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan untuk menyuarakan -- secara lantang dan sesering mungkin ! -- kemarahan atau protes kita. Gerakan moral yang seyogianya didukung oleh segala macam bentuk kegiatan ini bisa dilakukan oleh partai-partai politik, dan segala macam ormas dan ornop, serta kelompok dan golongan dalam masyarakat luas. Partisipasi aktif kaum buruh, tani, pemuda, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota, amat penting dalam gerakan moral ini.

Juga, dalam gerakan moral ini, para intelektual, seniman, sastrawan, wartawan, penyair, pelukis, artis, perlu didorong untuk “membrontak” dengan berbagai cara dan bentuk terhadap keadaan yang menyedihkan ini. Artikel-artikel ilmiah perlu dibuat, segala macam tulisan perlu dikarang, lagu-lagu perlu digubah, ceramah dan seminar perlu diadakan, segala macam pertemuan perlu diselenggarakan, untuk menyalurkan protes, dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan dan menggugah keberanian untuk mengubah keadaan.

Gerakan moral semacam ini akan bisa merupakan jalan atau cara meningkatkan kesedaran bersama untuk melakukan segala macam perlawanan terhadap kelaparan anak-anak, terhadap kemiskinan yang menimpa begitu banyak penduduk dan terhadap pengangguran yang menganga begitu lebar itu. Seringnya diangkat terus masalah-masalah ini, dalam berbagai bentuk dan cara, oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan juga bisa merupakan “peringatan” bagi para penguasa dan “tokoh-tokoh” di berbagai lembaga pemerintahan dan masyarakat bahwa bangsa dan negara kita sedang menghadapi problem-problem yang cukup dahsyat dan mengerikan.

Gerakan Melawan Korupsi sebagai Partner

Gerakan moral untuk melawan kelaparan anak-anak, kemiskinan, dan pengangguran, yang didukung oleh berbagai macam kelompok dan golongan dalam masyarakat ini bisa menjadi sekutu atau kawan seiring dengan gerakan moral melawan korupsi, yang juga merupakan penyakit parah bangsa kita. Sebab, korupsi juga merupakan bagian dari sebab-sebab berbagai masalah yang diderita rakyat. Oleh karena itu, dalam kedua macam gerakan moral tersebut seyogianya semua fihak berusaha saling membantu, saling mendukung, saling mendorong, dengan menjauhi persaingan yang tidak sehat atau permusuhan yang tidak menguntungkan kepentingan bersama.

Mengingat besarnya dan luasnya berbagai masalah-masalah parah tersebut, maka alangkah baiknya kalau dalam gerakan moral ini tidak banyak dipersoalkan ideologi, atau aliran dan faham politik, atau agama dan keyakinan. Baik golongan Islam, maupun Katolik atau Protestan, baik yang Hindu maupun Buda, atau baik yang nasionalis maupun yang kiri, semuanya perlu didukung atau dibantu kegiatan mereka, asal terbukti tulus, jujur, bersih dan sungguh-sungguh untuk melawan kelaparan, kemiskinan dan pengangguran.

Gerakan moral melawan berbagai ketimpangan sosial yang serius ini, bisa juga merupakan kritik terhadap kebejatan moral – terutama di kalangan elite dan “tokoh-tokoh” – yang korup, dan tega hidup foya-foya dengan mewah berlebih-lebihan, ketika sebagian besar rakyat kita dalam kesusahan yang penuh derita. Sebab, sikap mental sebagian besar “kalangan atas” masyarakat Indonesia terhadap kehidupan rakyat banyak pada umumnya adalah sangat buruk, bahkan sangat banyak yang tidak peduli sama sekali. Banyak di antara mereka yang sudah menjadi pengkhianat kepentingan rakyat. Mereka inilah yang harus dikritik, atau dihujat, dan dijadikan salah satu di antara sasaran gerakan.

Apa sajakah sebabnya dan siapakah yang salah?

Selain itu, diangkatnya sering-sering berbagai masalah besar tersebut di tengah-tengah masyarakat merupakan juga pendidikan politik bagi orang banyak. Sebab, dalam mempersoalkan kelaparan jutaan anak-anak, atau kemiskinan yang besar-besaran, atau pengangguran yang luas, atau korupsi yang merajalela, agaknya terpaksalah akhirnya mempertanyakan apa-apa sajakah sebab-sebabnya, atau apa sajakah atau siapakah yang salah dan bagaimanakah kiranya mengatasinya atau mengubahnya.

Pandangan kritis atau yang mempertanyakan itu semuanya, yang diajukan oleh banyak orang, akan memungkinkan tumbuhnya kesadaran tentang perlunya solidaritas dalam perjuangan untuk melawan musuh yang sama juga, yaitu yang berupa kesenjangan sosial yang sangat parah.. Kesadaran kolektif ini kemudian bisa meningkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu pengenalan yang lebih baik terhadap sebab-sebab segala masalah besar tersebut.

Ketika berbagai masalah besar yang menyedihkan tersebut diatas diangkat dan ditelaah dalam-dalam, maka akan nampak dengan jelaslah bahwa berbagai akarnya itu terletak dalam sistem pemerintahan, dan politik, dan pengelolaan negara, (dan juga faktor manusianya!) yang sudah disandang sejak lama, yaitu sejak Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudahnya, sampai sekarang. Jadi, masalah-masalah besar itu adalah penyakit yang sudah kronis selama puluhan tahun, yang tidak dapat diatasi oleh pemerintahan yang sudah berganti-ganti, tetapi yang pada pokoknya tetap menjalankan politik yang sama atau itu-itu juga.

Karena selama 32 tahun Orde Baru tidak bisa diadakan perubahan-perubahan radikal dalam kehidupan rakyat, demikian juga halnya selama pemerintahan yang berganti-ganti sesudahnya, maka kemungkinan untuk adanya perubahan-perubahan besar di kemudian hari juga tetap tipis sekali, kalau sistem kekuasaan politik yang lama masih diteruskan. Perubahan besar atau radikal atas nasib rakyat hanya bisa terjadi kalau ada perubahan radikal dalam kekuasaan politik, yang memungkinkan dilaksanakannya perubahan-perubahan besar yang menguntungkan kepentingan rakyat banyak.

Jadi, berdasarkan pengalaman 32 tahun Orde Baru ditambah sekitar 10 tahun pasca-Suharto bisalah kiranya diramalkan bahwa jumlah anak-anak yang kelaparan, dan jumlah penduduk miskin serta pengangguran akan tetap besar di kemudian hari, selama berbagai politik pemerintahan tidak dirobah secara radikal, dan diganti dengan yang betul-betul mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak.

Salah besar, kalau “Nrimo” saja !

Bahwa 62 tahun sesudah diproklamasikannya kemerdekaan negara kita, sekarang ini masih terdapat 13 juta anak-anak yang kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang masih miskin, serta sekitar 40 juta orang tidak punya pekerjaan tetap, adalah suatu hal yang keterlaluan !!! Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kalau kita menyuarakan kemarahan dan menghujat berbagai politik pemerintahan yang menyebabkan lahirnya masalah-masalah besar yang menyengsarakan begitu banyak orang, dan dalam jangka waktu lama pula.

Adalah kuajiban kita semua yang luhur, dan juga hak kita semua yang sah dan adil, untuk bersama-sama memperjuangkan terberantasnya berbagai masalah besar tersebut di atas, sambil mengajak berbagai kalangan mana pun dan golongan apa pun untuk bangkit mengusahakan terjadinya perubahan sistem politik dan pemerintahan, dan menjadikannya betul-betul pro-rakyat.

Agaknya, perlu menjadi kesadaran kita bersama bahwa keadaan negara dan rakyat yang begitu menyedihkan dewasa ini sama sekali bukanlah takdir Ilahi, dan bahwa kelaparan jutaan anak-anak serta kemiskinan 100 juta orang lebih atau pengangguran 40 juta orang bukanlah pula kehendak Tuhan. Adalah tugas bersama kita semua untuk merubah keadaan yang menyengsarakan rakyat banyak itu. Dan adalah salah sama sekali kalau kita bersikap “nrimo” saja.

Hanya melalui jalan dan cara itulah maka masyarakat adil dan makmur -- yang dicita-citakan rakyat Indonesia bersama dengan Bung Karno -- akan dapat dicapai. Pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin (antara lain Venezuela dan Bolivia) memberikan contoh yang menarik, tentang pentingnya perubahan kekuasaan politik guna mengadakan perubahan fundamental demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukannya dengan cara-cara Orde Baru beserta berbagai pemerintahan yang menggantikannya.

Juga, pengalaman kita bersama selama puluhan tahun membuktikan dengan jelas sekali, bahwa hanya melalui perubahan sistem kekuasaan politik yang betul-betul pro-rakyatlah kita akan bisa menciptakan masyarakat adil dan makmur, sehingga bisa mentrapkan Pancasila secara nyata (dan menurut jiwanya yang asli, dan bukannya Pancasila palsu à la Orde Baru) dan sungguh-sungguh menjunjung tinggi-tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Habis Gelap Terbit Suram: Nasib Pekerja Indonesia


Habis Gelap Terbit Suram: Nasib Pekerja Indonesia
Seolah-olah sudah menjadi takdir kelas pekerja di Indonesia, bahwa kemiskinan dan tekanan hidup sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa di ubah. Setelah kaum pekerja berhasil menahan upaya revisi UU Ketenagakerjaan yang sangat merugikan buruh, pemerintah kembali bermanuver lain, dengan menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai berbagai klausul kontroversial dalam UU No 13/2003 yang masih menjadi pokok sengketa antara buruh dan pengusaha. Pemerintah dan DPR yakin bahwa keluarnya RPP ini bisa mengatasi kemacetan dalam implementasi UU ketenagakerjaan. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).

Kembali sebuah logika terbalik di jadikan alasan pembahasan klausul perundanga-undangan perburuhan untuk memanipulasi dan menipu buruh agar menerima paket-paket liberalisasi sektor perburuhan. Bahwa pemerintah mencoba menyelesaikan beberapa klaususl tersebut hanya dengan merubah redaksi, tetapi sama sekali tidak menyentuh problem pokoknya. Sangat jelas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan ada dua semangat yang sangat di tentang oleh kaum buruh yakni Sistem kontrak dan Outsourcing. Ketika persoalan fundamental ini tidak di selesaikan, maka bagaimanapun klausul yang di tawarkan oleh pemerinatah tidak akan menyelesaikan masalah. Erman Suparno, menteri tenaga kerja dan Transmigrasi menganggap bahwa RPP pesangon dan RPP Jaminan PHK ini adalah modal plus bagi hak-hak buruh selain hak buruh yang sebelumnya di jamin: Selain jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, dan kematian.

Memang sungguh hal miris, bahwa masih ada sekitar 60 ribu kasus pemutusan hubungan kerja(PHK) dengan nilai pesangon sekitar 500 Milyar rupiah, sampai saat ini belum diselesaikan. Tentunya ini adalah sebuah realitas yang tidak bisa di tutupi, dan butuh tindakan darurat untuk memberikan jaminan hukum dan mobilisasi anggaran hingga pekerja terpastikan menerima hak-hakanya tersebut.

Deregulasi Untuk Reformasi Sistem Perburuhan Indonesia

Secara umum perdebatan yang mengemuka antara beberapa Aliansi serikat Pekerja (terutama serikat buruh kuning) dengan pemerintah bertitik pada beberapa problem mendasar dalam Rancangan RPP itu, antara lain: soal premi 3 % yang ditawarkan oleh pemerintah (dan merupakan posisi mutlak Asosiasi Pengusaha) dan persoalan patokan perhituangan pesangon ditetapkan batas atas gaji yang menjadi faktor pengkali jumlah pesangon sebesar lima kali pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1 juta. Artinya, gaji maksimal pekerja yang dijamin pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta per bulan. Serikat pekerja melihat bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta maka RPP ini diskriminatif karena otomatis pekerja yang berpendapatan diatas gaji tersebut tidak akan memperoleh jaminan. Disisi lain, Erman Suparno, mewakili pemerintah beranggapan bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta itu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh ke mayoritas pekerja karena dari total jumlah pekerja Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat 99% pekerja yang berpenghasilan di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta) sedangkan yang berpendapatan di atas lebih kecil.

Esensi perdebatan ini sebenarnya tidak menyentuh asal –muasal dan kepentingan pokok yang ingin di targetkan pemerintah sebagai kelanjutan dari reformasi perburuhan agar mengikuti standar yang di inginkan oleh investor (pemilik Modal). Apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemodal dan pemerintah dalam pembahasan RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak dan RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). (1) Melestarikan sistem Kontrak dan Outsorcing. Kenapa? tuntutan perombakan sistem perburuhan seperti yang dikehendaki pemilik modal(investor) adalah sesuatu yang tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca; dikompromikan), sehingga harus di cari jalan untuk memaksakan sistem kontrak dan outsourcing tetap menjadi pilihan penguasaha. Dengan adanya jaminan pesangon, dan bahwa logika “Makin lama bekerja makin banyak gajinya” membuat buruh tidak teralalu pusing dengan status pekerjaannya (kontrak). (2). Di masa yang akan datang, Pemutusan hubungan kerja(PHK) akan semakin massif dengan berbagai alasan oleh pengusaha, dan bagi buruh setelah di PHK mereka mendapat jaminan mendapatkan pesangon. Sebenarnya ini hanyalah politik pengusaha dan pemerintah untuk melemahkan posisi buruh di tempat kerjanya (organisasi unit kerja) karena massifnya PHK, karena dengan PHK dan di topang outsourcing maka pengusaha bisa secara sepihak bisa menekan buruh dalam persolan upah, dan hak-hak normatif lainnya. (3). Bahwa kedua RPP, ini hanya bentuk lain dari revisi UU Ketenagakerjaan yang sudah di rubah bentuknya namun tidak menghilangkan substansi dan tujuan semulanya. (4) ini bisa di curigai strategi pemerintah untuk menghimpun dana tambahan dari masyarakat (utamanya pekerja) yang sebenarnya harus di simpan untuk jaminan hari tua/atau setelah di PHK, di sedot untuk di spekulasikan di bursa saham. Karena dalam prosesanya bentuknya bukan asuransi tetapi cenderung dalam bentuk reksadana.

Metode Legislasi Kebijakan yang Berulang-ulang


Metode yang di tempuh pemerintah, DPR dan pengusaha ini bukanlah “modus operandi” yang sama sekali baru, tetapi sudah berulangkali dilakukan. Kebijakan pemerintah yang dianggap mendesak oleh mereka, namun mendapat perlawan luas dari massa rakyat akan seolah-olah di hentikan, di rubah, dai modifikasi kemudian lahir kebijakan baru yang bentuknya di pecah-pecah agar tidak kasat mata di lihat kaum pekerja. SUDAH jelas bahwa RPP pesangon yang ditetapkan oleh Parlemen tersebut sama sekali tidak menjawab problem mendasar dari pekerja. Kalaupun RPP itu menjamin hak-hak pekerja untuk mendapat pesaangon sesuai dengan ketentuan pendapatan tidak kena pajak (PTKP), tetapi dilapaangan praktek UU itu tidak mampu memaksa pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut. dalam ketentuan penerapan Upah Minimum Propinsi saja misalnya, masih banyak perusahaan yang melanggar dan membayar di bawah standar namun karena berbagai alasan irasional, pemerintah seolah-olah membiarkannya. Disamping itu, ada celah yang tersedia di RPP ini bahwa tanggung jawab membayar pesangon bukan lagi tanggung jawab pengusaha bersangkutan tetapi bisa di alihkan ke perusahaan asuransi.

Sebenarnya jikalau pemerintah ingin memberikan perlindungan terhadap pekerja, termasuk berbagai kasus PHK yang upahnya belum dibayarkan (menurut menakertrans) maka persoalan fundamentalnya adalah merombak regulasi perburuhan kita dengan tidak mengijinkan sistem Kontrak, outsourcing, membuat aturan yang melarang PHK, dan tidak mendiskreditkan serikat buruh—utamanya serikat buruh radikal. Tidak ada lagi diskriminasi antara sektor formal dan informal, dan pemerintah mestinya lebih berpihak kepada buruh dalam persoalan industrial. Pemerintah harus tegas dan berdaulat dalam menghadapi dan menekan perusahaan yang seenaknya saja memasukkan dan memindahkan investasi dari indonesia keluar.

Cukup sudah alasan investasi, dijadikan tameng untuk melepaskan gandul yang akan memukul lonceng kematian kaum buruh, karena tanpa kelas pekerja sebenarnya negara tidak ada apa-apanya.

Pancasila Berubah Menjadi Pancasial !

Pancasila Berubah

Menjadi Pancasial

Dalam sejarah Pancasila, sejak 1 Juni 1945 sampai sekarang mengalami perubahan rumusan sesuai dengan perkembangan, baik secara logika maupun demi kekuasaan. Pada paruh tahun 50-an sampai 60-an, sosialisasi tentang Pancasila dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemasangan pagar bambu di tepi jalan.

Untuk penggambaran Pancasila, dipasanglah belahan bambu yang memanjang sebanyak lima buah (gapit, Jawa). Pada tahun 80-an, Orde Baru menggalakkan pembudayaan P4 melalui penataran sebagai pelaksanaan Tap II/MPR/1978. Kini Tap tersebut entah ke mana, padahal baru berusia 28 tahun.

Secara logika, kalau Tap II/MPR/1978 bisa hilang dari peredaran, apalagi Tap XXXIII/MPRS/1967 yang cenderung lebih tua, mestinya akan hilang dengan sendirinya. Pada era Orde Baru sampai sekarang Pancasila tidak lebih dari sekadar bacaan pada kegiatan upacara dan makna yang terkandung di dalamnya terabaikan.

Saya khawatir Pancasila akan berubah menjadi Pancasial yaitu:

1. Ke-tua-an yang kuasa;

2. Kemanusiaan yang kerdil dan biadab;

3. Perseteruan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebejatan dalam kemaksiatan;

5. Ketidakadilan bagi seluruh rakyat kecil Indonesia.

Pada Langendrian Damarwulan, ada pupuh Dhandhanggula sbb:

Siwa patih marma sun timbali,

Ingsun paring weruh marang sira

Yen ingsun antuk wangsite

Saka dewa linuhung

Saranane paprangan iki

Kang bisa mbengkas karya

Bocah saka gunung

Kekasih Damarsasangka

Siwa patih iku upayanen nuli

Jwa kongsi kepanggya.

Pupuh tersebut menggambarkan pemimpin yang memperhatikan rakyat kecil dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu butir budaya Jawa mengatakan: Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. Pada masa sekarang, adakah pemimpin semacam itu?

Selasa, 09 Oktober 2007

Mengapa Kiri Dibenci?

Mengapa Kiri Dibenci?

Kata "kiri" sudah lama sekali menjadi sesuatu yang angker sekaligus amat sexy di negeri ini, tapi diam-diam juga dibenci. Istilah "kiri" biasanya mengacu pada sesuatu yang berkaitan dengan komunisme, sosialisme dan marxisme (walaupun ketiga hal itu tentu saja berbeda satu sama lain) atau sesuatu yang anti-kemapanan.

Sejak komunisme diberangus oleh rezim Orde Baru dan terus-menerus dijadikan the invisible enemy—musuh tak kasat mata, bahaya laten dan sebagainya—diam-diam "cap kiri" juga mengalami sofistikasi menjadi sesuatu yang cenderung dihindari sekaligus bikin penasaran.

Mungkin itu sebabnya ketika Orde Baru tumbang setelah Soeharto dipaksa turun dari singgasananya pada 1998 dan militer tak lagi bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini, "buku-buku kiri" yang tadinya dilarang beredar dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan risiko hukuman penjara (ingat kasus Bonar Tigor Naipospos yang dipenjarakan gara-gara mengedarkan buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer) diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis di pasaran.

Buku-buku karangan dan tentang Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Che Guevara, Karl Marx dan yang nyerempet-nyerempet isu kiri menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Dalam waktu sekejap buku-buku semacam itu berkali-kali dicetak ulang dan tak perlu lagi diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi.

Madilog dan Gerpolek tidak lagi menjadi barang langka. Gambar dan poster Che Guevara laris di mana-mana seiring dicetaknya bagian-bagian yang diterjemahkan dari Guerilla Warfare. Das Kapital, karya legendaris Karl Marx, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, diterbitkan secara massal, dan bisa didapat secara terbuka. Sesuatu yang mustahil terjadi sepuluh atau dua belas tahun silam.

Pada tahun 1994, saya pernah ditawari tiga jilid Das Kapital dan sebuah Madilog keluaran tahun 1950-an yang disembunyikan di atas loteng toko oleh seorang pedagang buku bekas di kawasan Taman Mini dengan harga selangit mahalnya. Sebuah toko buku di kawasan TIM pun mesti menyembunyikan tetralogi novel Bumi Manusia karya Pramoedya di atap toko untuk "berjaga-jaga".

Setelah adem-ayem selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja kini kita "dikejutkan" oleh peristiwa sweeping buku-buku "kiri" di toko buku Ultimus, Bandung, menyusul pembubaran diskusi oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah ormas anti-komunisme.

Peristiwa pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme yang diikuti penangkapan peserta diskusi dan sweeping buku-buku "kiri" oleh polisi yang terjadi di toko buku Ultimus beberapa hari lalu tentu saja bukan kabar menggembirakan bagi perkembangan demokratisasi dan intelektualitas di negeri kita. Pemberangusan buku bukanlah tindakan yang terpuji, apalagi itu diprovokasi oleh "polisi-polisi preman" yang jelas tak punya hak untuk melakukan tindakan-tindakan semacam itu.

Saya kira, daripada mengusik benih-benih persemaian intelektualitas dengan membubarkan diskusi melalui cara-cara kekerasan dan memberangus buku, akan lebih baik jika aparat keamanan lebih serius menangani maraknya gejala anarkisme kolektif yang berkedok kepentingan masyarakat, tetapi pada praktiknya justru meresahkan masyarakat.

Toh, rakyat kita sesungguhnya tidak bodoh dan bukan anak kecil yang belum mampu memilih sehingga mesti dicekoki.(www.rumahkiri.net)

Sampai Kapan Pembodohan di Negeri ini terus Berlangsung?

Sampai Kapan Pembodohan di Negeri ini terus Berlangsung?
Segera Hentikan!

"Kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi sasaran penyebaran ajaran berbau komunis, sehingga harus diantisipasi," demikian pernyataan Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, usai menghadiri seminar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bekasi, Rabu (13/6) (Republika, 14 Juni 2007). Tidak hanya itu, pernyataan bodoh tetapi populer itupun disertai dengan beberapa pernyataan bodoh lainnya, seperti: “jangan sampai konflik internal antarumat beragama dan kemiskinan dimanfaatkan oleh orang-orang komunis untuk menyebarkan ajarannya”; “FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) harus mampu mensejahterakan anggotanya dengan berbagai cara agar tidak menjadi sasaran penyebaran ajaran berbau komunis”; “konflik horizontal di masyarakat akan menjadi sasaran dan ladang empuk bagi komunis menyebarkan ajarannya dengan mengumbar segudang janji untuk menarik simpatik masyarakat.”

Setelah menyimak pernyataan tersebut, segera kita bertanya: jika mamang terjadi konflik internal antarumat beragama dan kemiskinan merajalela, mengapa komunisme yang kemudian menjadi sasaran tembakan? Jika memang ada konflik internal antarumat beragama, kewajiban seluruh umat beragamalah untuk memecahkannya, bukan kemudian menduga-duga pihak tertentu akan memanfaatkan keadaan tersebut. Demikian pula soal kemiskinan. Jika memang kemiskinan dan jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar, maka persoalan kemiskinan dan kesenjanganlah yang harus dipecahkan, bukan mencari kambing hitam yang dianggap (bahkan dituduh) akan memanfaatkan kondisi tersebut.

Jika kita melihat kenyataan dengan pikiran yang lurus dan benar—jujur dalam melihat apa yang terjadi—bukan komunisme yang sesungguhnya tengah mengacamkan masyarakat kita, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang menjadi musuh komunismelah yang semakin terang-terangan menampakkan dirinya dan terbukti merusak sendi-sendi kehidupan manusia: fanatisme agama, liberalisme, dan kapitalisme/imperialisme (Heryanto, 2004). Jika bung Hidayat Nurwahid cukup nalar dalam menghadapi kenyataan dan mampu berpikir lurus dan benar, kami yakin akutnya persoalan sosial, ekonomi dan politik yang melanda bangsa ini bisa dipecahkan tanpa harus mencari kambing hitam dan meneruskan proyek pembodohan Orde Baru yang berlangsung 32 tahun lamanya. Sebagian besar rakyat di negeri ini sudah cukup menderita akibat penghianatan terhadap cita-cita Revolusi Indonesia dan UUD 45. Karena itu, sudah sepantasnya bung Hidayat sebagai ketua MPR tidak menambah persoalan rakyat dengan membodohi dan menularkan kekeliruan berpikir yang akan merusak sendi-sendi kemanusiaan.(www.rumahkiri.net)